Selasa, 07 April 2015

Lowongan Tenaga Pendamping Pembangunan Desa-TPPD

Lowongan Tenaga Pendamping Pembangunan Desa-TPPD
Pembukaan lowongan Tenaga Pendamping Pembangunan Desa-TPPD sudah siap diadakan pada bulan Mei 2015. Tenaga TPPD dipersiapkan untuk mengawal uang dana desa 1 miliar per desa per tahun. Tenaga TPPD bukan hanya untuk mengawal dana tersebut tetapi juga untuk mengawal dan mendampingi seluruh penggunaan dana yang dilakukan oleh Pemerintah Desa.

Pembukaan lowongan tenaga pendamping pembangunan desa-TPPD akan diadakan secara bertahap dimulai bulai Mei 2015. Pendaftaran dapat dilakukan  melalui kecamatan masing-masing atau langsung ke Kabupaten untuk ditempatkan ditingkat kecamatan dan kabupaten. Syarat pendaftar adalah mereka yang berijazah S1 dan memiliki sertifikat TPPD. bagi yang belum memiliki juga boleh mendaftar dengan syarat apabila sudah diterima wajib mengikuti diklat TPPD dalam jangka 2 tahun harus sudah meiliki sertifikat tersebut

Kamis, 02 April 2015

Tokoh-Tokoh Nasional dari Wong Penginyongan




  • Saifuddin Zuhri ,Menteri Agama RI pada kabinet Kerja III,Kerja IV,Dwikora I,Dwikora II dan Ampera I
  • Jenderal Gatot Subroto, wakil kepala staf Angkatan Darat dan penggagas AKABRI (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia)
  • Ahmad Tohari, sastrawan yang dikenal melalui trilogi Ronggeng Dukuh Paruk dan telah memperoleh penghargaan dari dalam dan luar negeri.
  • S. Bagio, pelawak yang terkenal pada tahun '80an, membintangi berbagai judul film dan sering tampil dalam acara lawak di TVRI.
  • Sugino Siswocarito, dalang Banyumasan.
  • Sugito Purbocarito, dalang Banyumasan.
  • Surya Esa,Teatrawan.
  • Mayangsari, penyanyi.
  • Pangky Suwitoartis film.
  • Bambang Set, sastrawan.
  • Dharmadi, sastrawan.
  • Darto Helm, pelawak yang terkenal pada era '80an bersama dengan S. Bagyo
  • Soesilo Sudarman, mantan menteri di era Orde Baru.
  • Achmad Mubarok MA, Dr.H., Politikus Partai Demokrat .
  • Soeparjo Roestam, mantan menteri di era Orde Baru
  • Purnomo, pelari tercepat di Asia di tahun 80-an
  • M. Koderi, budayawan penulis buku-buku tentang Banyumasan
  • Jend. Surono Reksodimedjo, mantan Menko Polkam
  • Slamet Effendi Yusuf, Politikus Partai Golkar
  • Sutedja, komponis, seniman
  • R. A. Wiryatmadja, Pendiri BRI
  • Margono Sukarjo, Prof. Ahli Bedah Pertama Indonesia
  • Raden Mas Margono Djojohadikusumo, Pendiri BNI 1946
  • Christian Hadinata, pemain bulu tangkis
  • Henri Adolphe van de Velde, politikus Belanda
  • Dolf Nijhoff, pejuang Belanda di masa PD II
  • Sri Anggono Widagdo, Mahasiswa Pelestari Aksara Jawa.

  • Kamis, 26 Maret 2015

    Sejarah Babad Dayeuh Luhur

    sejarah dayeuhluhur dari awal sampai akhir

    IV. CERITERA SEJARAH DAYEUHLUHUR
    DARI MASA KE MASA
    Memahami sejarah Dayeuhluhur berikut ini harus berkenan mengikuti sejarah Sunda dan juga sejarah Demak, Banyumas, Pajang serta Mataram yang sangat mempengaruhi sejarah Dayeuhluhur
    Penggunaan kata Dayeuhluhur yang digunakan sekarang, pada awalnya terdapat beberapa ejaan, mulai dari Dayaloehoer (Hallewijn), Dayoloehoer (Vitalis), Daijoe-Loehoer (surat keputusan tanggal 18 Desember 1830 no 1) dan Dayoe-Loehoer (Mr. van Lawick van Pabst dan Resolusi tanggal 27 Agustus 1831 no 1).Menurut Mr. Vitalis, dayo artinya desa, luhur artinya ketinggian atau gunung. Jadi Dayu-Luhur artinya desa yang terletak di ketinggian atau gunung
    1. Dayeuhluhur Masa Hindu-Buddha
    Sekitar tahun 1490-an Arya Gagak Ngampar (Banyak Ngampar) dijadikan Adipati Dayeuhluhur oleh Kakaknya Banyak Cotro (Prabu Kamandaka) Adipati Pasirluhur di Karanglewas (Barat Kota Purwokerto sekarang) sebagai daerah bawahan Pasirluhur. Wilayah Kadipaten Dayeuhluhur ini meliputi wilayah yang jauh lebih luas dibandingkan wilayah Kec.Dayeuhluhur saat ini, jika dibandingkan saat ini meliputi : Seluruh wil.Kab.Cilacap saat ini sampai Daerah Ayah Kesugihan dan Wangon. Adipati Gagak Ngampar setelah meninggal digantikan putranya Candi Kuning dengan gelar Adipati Gagak Ngampar II.
    1.a. Latar Belakang Arya Gagak Ngampar
    Dalam ceritera Babad Pasirluhur, pada awalnya Dayeuhluhur merupakan salah satu wilayah dari Kadipaten Pasirluhur yang dipimpin oleh adipati Kandadaha. Pada saat putri kandadaha yang terakhir yang bernama Dewi Ciptoroso (anak adipati kandadaha berjumlah 25 orang semuanya putri) dilamar oleh Prabu Pulebahas, Adipati dari Kadipaten Nusakambangan yang disertai tekanan akan adanya invasi Nusakambanngan atas Pasirluhur, maka atas bantuan Pasukan Pajajaran yang dipimpin kakak beradik Banyak Cotro (Kamandaka) dan Banyak Ngampar (silihwarni) pasukan Nusakambangan dapat dikalahkan dan Prabu Pulebahas pun tewas dalam pertempuran. Kakan beradik itu dari Nusakambangan dan Pasir luhur masing-masing mendapatkan 40 putri boyongan ditambah Banyak Cotro dinikahkan dengan Dewi Ciptoroso dan Banyak Ngampar menikahi Dewi Purwati/Dewi Pringgisari adik dari Adipati Pulebahas, kesemuanya diboyong ke Pajajaran sebagai prasarat untuk menjadi putra mahkota Pajajaran. Kejadian ini berlangsung pada kisaran tahun 1485. Hal ini berkaitan dengan sejarah sunda dan Pajajaran. Bahwa pada tahun 1375 Raja Pajajaran Prabu Linggabuana bersama istri dan anaknya Dyah Ayu Pitaloka dan seluruh prajurit yang mengiringinya gugur dalam perang Bubat akibat tipu muslihat Mahapatih Majapahit Gadjah Mada yang merubah pertemuan antar calon pengantin Dyah Pitaloka dengan Raja Majapahit Hayam Wuruk menjadi penundukan raja Pajajaran pada Majapahit yang ditolak oleh Prabu Linggabuana yang lebih baik bertempur mati-matian daripada harus tunduk pada Majapahit apalagi dengan tipu muslihat dan ingkar janji, kekuatan Prabu Linggabuana yang mempertahankan harga diri dan keharuman Bangsa Pajajaran ini diabadikan dengan sebutan PRABU WANGI artinya Raja yang menjaga keharuman nama bangsa Pajajaran. Karena putra mahkota masih kecil maka kerajaan dijalankan oleh adik prabu Linggabuana yaitu Patih Bunisora/Borosngora sampai dengan tahun 1371 M. Patih Gadjah Mada merasa bersalah dan gagal dalam peristiwa Bubat sehingga mengasingkan diri bertahun-tahun di hutan Tarik, Raja Majapahit Hayam Wuruk sangat terpukul atas peristiwa Bubat dan memohon maaf pada Bunisoro, namun Bunisora tetap waspada dan memperkuat pertahanan di sisi timur Pajajaran dari Cipamali sampai Cijolang. Patih Bunisora adalah Mangkubumi Suradipati atau Prabu Kuda Lalean atau Batara Guru Jampang (dalam babad Panjalu, ia dimakamkan di Geger Omas). Pada tahun 1371 Putra Mahkota naik tahta dengan nama Niskala Wastu Kencana sebagai raja Pajajaran ke 26 sampai dengan tahun 1475. Prabu Niskala Wastu Kencana menikahi saudara sepupunya anak dari Buni sora yaitu Dewi Mayangsari dan dikarunia anak bernama Dewa Niskala dan Ki Gedeng Sindangkasih. Perkawinan kedua dengan Dewi Lara Sukarti dikaruniai anak bernama Susuk Tunggal. Pemerintahan Niskala Wastu Kencana 1371-1475 (105 tahun) mengalami kejayaan, sehingga diberi gelar PRABU WANGISUTAH raja yang meneruskan keharuman ayahandanya prabu wangi, sebaliknya selama dekade itu Majapahit mengalami perang saudara (paregreg) dan perebutan kekuasaan antara Brawijaya V dan VI dan munculnya kerajaan Demak yang melemahkan Majapahit. Pada tahun 1475 Pajajaran dibagi 2 kerajaan untuk kedua anaknya, Kerajaan Sunda untuk Prabu Susuk Tunggal dan Kerajaan Galuh Untuk Prabu Dewa Niskala. Pada saat Prabu Niskala Wastu Kencana masih berkuasa, Susuk Tunggal telah memiliki putri bernama Kentringmanik mayang sunda dan Amuk marugul, sedangkan Dewa Niskala telah memiliki putra bernama PAMANAH RASA yang menjadi cucu kesayangan Niskala Wastu Kencana. Pamanah Rasa sangat sakti dan mewarisi ilmu dan kebijaksanaan kakeknya, ia menikahi sepupunya putri Ki GedengKasih yang bernama Dewi Ambetkasih dan memiliki 3 orang anak, Banyak Cotro, Banyak Ngampar dan Dewi Ratna Pamekas. Karena Dewi Ambetkasih meninggal Pamanah rasa mengawini gadis muslim Dewi Subanglarang saat diutus kakeknya menghancurkan Pondok Quro (kawasan ponpes syech Hasanudin di Kerawang yang bermazhab Hanafi) alih-alih menghancurkan pondok malah menikah dengan salah satu santriwatinya Dewi Subanglarang yang merupakan anak dari Ki Gedeng Tapa Cirebon. Dari perkawinanannya dengan gadis muslimah melahirkan 3 anak muslim yaitu anak pertama bernama Walangsungsang yang menjadi Adipati Cirebon dengan nama Pangeran Cakrabuana, anak kedua putri Rara Santang yang menikah dengan raja Mesir menurunkan Sunan Gunung Jati dan anak ketiga Raja sangara atau Kian Santang yang menjadi Senopati Perang Cirebon dan akhirnya menjadi wali penyebar Islam dengan nama Sunan Godog. Perkawinan ini menyalahi perintah sang Kakek sehingga berlangsung di luar istana, saat kembali ke istana Pamanah rasa dinikahkan dengan sepupunya putri Prabu Susuk Tunggal raja Sunda, Dewi Kentringmanik Mayang sunda dengan janji kelak anak yang lahir harus menjadi putra mahkota jika kelak Pamanah rasa menjadi Raja Galuh menggantikan Dewa Niskala (perjanjian ini tidak diketahui oleh anak-anak lainya dari istri pertama Banyak Cotro, Banyak Ngampar, Ratna Pamekas). Dari perkawinanya dengan Mayang Sunda dikarunia anak lelaki bernama Banyak Blabur dan Surasowan yang menjadi adipati Banten dan anak putri Surawati yang menikah dengan adipati Sunda Kelapa. Pada tahun 1482 Bangsawan Majapahit utamanya saudara-saudara Brawijaya V, diantaranya adiknya Arya Baribin dan rombongan mengungsi ke Galuh, diterima Dewa Niskala dan Arya Baribin dinikahkan dengan cucunya / anak Pamanah rasa, Dewi Ratna Pamekas, dan Dewa Niskala menikahi salah satu putri pelarian Majapahit yang telah memiliki tunangan, hal ini dianggap sebagai pelanggaran berat atas pamali dari dampak Perang Bubat menikahi putri Majapahit dan menikahkan putrinya dengan pria Majapahit serta menikahi orang yang sudah bertunangan. Sebagai hukuman, Dewi Ratna Pamekas dan Arya Baribin diungsikan keluar istana dan Dewa Niskala harus turun tahta dan digantikan oleh Pamanah Rasa dengan permaisurinya Dewi Kentringmanik Mayang Sunda. Karena Amuk Marugul satu-satunya anak lelaki dari Susuk Tunggal telah tewas di tangan Pamanah Rasa saat memperebutkan Dewi Subang Larang di Kerawang saat penyerbuan Pondok Quro (keduanya jatuh cinta pada Dewi Subanglarang sehingga terjadi perang tanding) maka Susuk Tunggal memberikan tahta sunda kepada Pamanah Rasa menantunya, sehingga Pamanah Rasa Menyatukan Kembali sunda dan Galuh menjadi Pajajaran Baru. Penobatan Pamanah Rasa tahun 1482 dengan Gelar Prabu JAYADEWATA, karena kepemimpinannya yang memajukan Pajajaran sangat pesat maka dijuluki sebagai PRABU SILIHWANGI, artinya raja yang menggantikan dan meneruskan kejayaan Prabu Wangi dan Prabu Wangisutah (Kakek dan buyutnya).Kata silihwangi secara aksen berubah menjadi Siliwangi. Ketiga anak Pamanahrasa dari Dewi Subanglarang yang menikah di luar istana dan beragama islam tidak akan menjadi putra mahkota dan kesemuanya telah mendirikan dinasti sendiri membuat kerajaan Cirebon dan Banten, dimana Walangsungsang mendirikan Cirebon dan digantikan keponakannya Sunan Gunungjati yang sejak 1482 berotonomi sendiri tidak tunduk lagi kepada Pajajaran, dan anak cucu Sunan Gunungjati menyerang keturunan Surasowan mendirikan kerajaan di Banten serta menundukan Sunda Kelapa menjadi Jayakarta dibawah Fatahilah. Tinggalah 3 orang calon putra mahkota yaitu Banyak Cotro, Banyak Ngampar dan Banyak Blabur. Saat ketiganya membawa masing-masing 40 putri boyongan, Siliwangi menerima ketiga calon putra mahkota dan mengajukan syarat disamping 40 putri boyongan maka putra mahkota harus berbadan mulus dan tanpa cacat, karena Banyak Cotro dan Banyak Ngampar tubuhnya terluka saat peperangan di Pasir luhur maka putra mahkota jatuh kepada Banyak Blabur (sebagai suatu siasat untuk memenuhi janji kepada Susuk Tunggal dan Dewi Kentringmanik Mayangsunda). Keputusan ini menyebabkan ketiga anak dari istri Pamanah rasa Dewi Ambetkasih itu (Banyak Cotro dan Banyak Ngampar) serta Dewi Ratna Pamekas yang dihukum usir dari istana karena dinikahkan dengan arya Baribin Pandita putra, ketiganya meninggalkan Pajajaran dan kembali ke Pasir Luhur. Oleh mertuanya Kandadaha, Banyak Cotro diangkat menjadi Adipati Pasir luhur dan menurunkan adipati Pasir Luhur Selanjutnya. Banyak Cotro kemudian mengangkat Banyak Ngampar menjadi Adipati Dayeuhluhur sebagian wilayah Pasir luhur di Barat yang kelak menurunkan keturunan Dayeuhluhur dan menempatkan serta menerima Ratna Pamekas dan Arya Baribin yang kelak menurunkan Adipati Mrapat (Joko Kaiman) sebagai leluhur para adipati Banyumas. Dari ketiga kakak beradik inilah kelak menurunkan para leluhur orang-orang di wilayah Banyumas dan Dayeuhluhur serta Cilacap melalui perkawinan antar saudara diantara mereka. Rangkaian peristiwa ini diperkirakan terjadi tahun 1485-1490.
    1.b. Arya Gagak Ngampar I - III
    Raden Banyak Ngampar alias Arya Gagak Ngampar alias Panembahan Haur yang menikahi Dewi Purwati atau Dewi Peringgi atau Panembahan Biang (adik Pule Bahas, Putri Boyongan dari Nusakambangan) dikarunia 2 anak yaitu anak lelaki bernama Candi Kuning dan anak Putri bernama Dewi Ratnasari atau Niken Rantamsari, dan mendirikan astana di Salangkuning Dayeuhluhur. Arya Gagak Ngampar berbesanan dengan Kakaknya Arya Kamandaka (Banyak Cotro) dengan menikahkan putrinya Niken Rantamsari dengan Banyak Wirata yang menjadi Adipati Pasir Luhur kelak menggantikan ayahnya Kamandaka. Candi Kuning Menggantikan Gagak Ngampar menjadi adipati Dayeuhluhur Dengan Nama Adipati Arya Gagak Ngampar II , dan berputra Candilaras (laki-laki) dan Dewi Niken Kurenta (perempuan). Candi Kuning kembali mempererat hubungan dengan pasirluhur karena berbesanan dengan Banyak Wirata dengan menikahkan putrinya Niken Kurenta dengan Banyak Roma yang akhirnya menjadi adipati Pasir luhur menggantikan ayahnya Banyak Wirata. Dari Dewi Niken Kurenta ini kelak menurunkan Banyak Kesumba (Senopati Mangkubumi I Kerajaan Demak) dan Banyak Eleng/Banyak Galeh ((Senopati Mangkubumi II Kerajaan Demak) dan menurunkan Trah Banyumas. Setelah meninggal, Candi Kuning Digantikan anaknya Candilaras dengan gelar Arya Gagak Ngampar III
    2. Dayeuhluhur Masa Islam Awal
    Pada Pemerintahan Adipati Banyak Belanak di Pasirluhur, Demak mengutus Pangeran Makdum Wali untuk menundukan Pasir luhur agar masuk Islam dan tunduk di bawah kekuasaan Demak, Adipati Banyak Belanak dan Patih Banyak Geleh tunduk dan menjadi murid kinasih Syech Makdum Wali dan menjadi penyebar agama Islam di Jawa Timur sampai ke Malang,Madiun, Majapahit, keberhsilannya dianugerahi Raja Demak Sultan Trenggono dengan Sebutan Pangeran Senopati Mangukubumi I untuk Banyak Belanak.
    . Sementara itu di Dayeuhluhur pada masa Candilaras (Adipati Arya Gagak Ngampar III), karena Pasirluhur tunduk di bawah kekuasaan Demak, maka Dayeuhluhur pun berada dalam kekuasaan koalisai Demak dan Cirebon. Pada saat inilah terjadi peralihan keyakinan agama Hindu Budha menjadi Islam bagi para Penguasa maupun masyarakatnya. Candilaras berputra 3 yaitu Ki Hadeg Cisagu, Ki Hadeg Cibungur dan Dewi Santang. Pada saat Candilaras berusia 65 tahun pada tahun 1526 Dewi Santang dinikahkan dengan adipati Wirasaba yang beragama islam yaitu adipapati Surawin/adipati Suratin.
    Pada saat Banyak Belanak (Senopati Mangkubumi I Demak) bersama syech Makdum Wali ditugaskan menyebarkan Islam ke wilayah barat mampir di Sidareja Penyarang bertemu dengan saudaranya Ki Hadeg Cisagu beserta anaknya Kyai Arsagati dan menantunya Ki Ranggasena, lalu melanjutkan penyebaran islam ke Jawa Barat. Karena Wilayah Banten sudah diislamkan oleh Sultan Hasanudin maka tugas Banyak Belanak cukup sampai di daerah Citarum kemudian kembali ke Pasir luhur, sesampainya di Pasir Luhur dimana pemerintahan dijalankan oleh anaknya Adipati Banyak Tholle, Banyak Belanak menjadi sakit keras akibat kemurtadan Banyak Thole yang kembali memeluk agama Hindu Budha dan berniat melawan Demak, dalam keadaan sakit keras Banyak Belanak disangka sudah wafat sehingga dikubur hidup-hidup oleh Banyak Tholle, saat para santri berziarah, terdengar suara Banyak Belanak yang menyatakan bahwa ia dikubur hidup-hidup oleh anaknya. Mendengar berita tersebut Banyak Tholle menggali kubur ayahnya, namun ayahnya saat itu benar-benar sudah meninggal, merasa dipermainkan para santri disiksa dan dianiaya, para santri melapor ke Demak dan Pasukan Demak membumihanguskan Kadipaten Pasirluhur, Banyak Thole menjadi buron dan melarikan diri ke Desa Bocor Kebumen sampai meninggalnya. Kadipaten Pasirluhur diserahkan kepada Patih Wirakencana/Banyak Geleh dengan Gelar Pangeran Senopati Mangkubumi II yang menjadi murid kinasih Syech Makdum Wali dan pada saatnya dikebumikan dalam satu liang lahat di pesareyan astana pasir luhur Karanglewas.
    3. Dayeuhluhur masa Galuh Pakuan Kawali
    Di akhir masa kepemimpinan Candilaras, Kerajaan Demak setelah Sultan Trenggono wafat th 1546, Demak mengalami kemunduran akibat perselisihan saudara, sehingga daerah bawahan Demak Cirebon banyak yang memberontak dan melakukan ekspansi, dalam hal ini Galuh-Kawali melepaskan diri dari Demak dan mengekspansi Dayeuhluhur sehingga kadipaten Dayeuhluhur dibubarkan dan wilayahnya sebagian besar masuk ke Galuh-Kawali. Anak-anak Candilaras yaitu Kihadeg Cisagu yang berpindah ke Penyarang Desa Kunci Sidareja menjadi tetua di daerah itu dan menjadi ulama penyebar agama islam memiliki putra Kyai Arsagati dan seorang putri, sedangkan ki hadeg Ciluhur berpindah ke Majenang menjadi tetua dan ulama berputra ki Ranggasena dan seorang putri. Kakak beradik Kihadeg Cisagu dan Ki hadeg Ciluhur menikahkan kedua putra putrinya secara silang. Kyai Arsagati menikahi putri perempuan Ki Hadeg Ciluhur dan Ki Ranggasena menikahi putri Ki hadeg Cisagu dan bermukim di Penyarang bersama mertuanya. Pada masa keruntuhan Demak dan berganti menjadi Pajang wilayah kekuasaannya hanya sampai Banyumas dan tidak sampai ke Dayeuhluhur.
    4. Dayeuhluhur Masa Kerajaan Mataram
    Ketika Pajang runtuh dan berdiri kerajaan Mataram di bawah Panembahan Senopati, Mataram melakukan ekspansi sampai ke Jawa Barat dan meruntuhkan Galuh Kawali tahun 1595.
    4.a. Kyai Ngabehi Arsagati
    Ketika Panembahan Senopati sampai di Penyarang (daerah Sidareja) Panembahan Senopati mengangkat Ranggasena menjadi Rangga di Penyarang dan Karena Panembahan Senopati terkesima oleh kanuragan dan kefasihan berbahasa Jawa dan Sunda dari Kyai Arsagati yang sudah berusia 71 tahun, maka Panembahan Senopati berkenan menghidupkan lagi Kadipaten Dayeuhluhur menjadi wilayah Mataram mancanegara kilen , namun wilayahnya mengecil menjadi 1/3 jaman Hindu Buddha, karena bagian Cilacap Timur didirikan Kadipaten Donan dan Kadipaten Jerulegi, Daerah Ayah masuk Kadipaten Panjer (Kebumen, sekarang) dan Daerah Maos Kroya masuk wilayah Kadipaten Roma (Gombong, sekarang) dan mengangkat Kyai Ngabehi Arsagati sebagai Adipati di Dayeuhluhur (Adipati ke 4 dari Banyak Ngampar) dan mendirikan astana di Karangbirai .
    Kyai Ngabehi Arsagati berputra 2 yaitu Kyai Ngabehi Raksagati dan Kyai Warga Jaya alias Kyai Ciptagati. Sareyan Kyai Ngabehi Arsagati berada di Karangbirai Dayeuhluhur.
    4.b. Kyai Ngabehi Raksagati
    Kyai Ngabehi Raksagati menggantikan ayahnya menjadi Adipati Dayeuhluhur ke 5, berputra Kyai Ngabehi Raksapraja/Reksapraja/Arsapraja. Pada masa Raksagati inilah wilayah Jawa Barat telah banyak dikuasai oleh VOC, sehingga timbul pemberontakan para pendekar silat dari Jampang yang dipimpin pangeran Panjalu H.Alit Perwitasari. Catatan Dr.F.De Hans Belanda menyebutkan bahwa Perwitasari yang di Jawa dikenal dengan PRAWATA SARI melakukan pemberontakan dan bekali-kali memporakporandakan Batavia, ia dijadikan buron oleh VOC dan diperintahkan kepada seluruh Bupati di seluruh Priangan untuk menangkapnya dengan iming-iming hadiah. Perwitasari kemudian memindahkan pergerakannya ke Jawa Tengah dan dengan tipu muslihat VOC dapat menangkap di Kartasura dan dibunuh di Dayeuhluhur dan dimakamkan di palalangon dikenal sebagai makam pangeran Panjalu bersebelahan dengan makam Kyai Ngabehi Raksagati meskipun tahun meninggalnya Kyai Ngabehi Raksagati jauh lebih tua dari pangeran Panjalu H.Alit Perwitasari 12 Juli 1707.
    Khusus mengenai H.Ali Perwitasari, pahlawan nasioanl dari Cianjur Tanah Jampang ini ada versi ceritera lain sebagai berikut :
    Raden Haji Alit Perwitasari adalah pendekar silat dan ulama dari Jampang keturunan Prabu Singacala dari Panjalu. Ia memulai pemberontakan kepada Belanda mulai Maret 1703 dengan memobilisasi rakyat pesilat Jampang sampai berjumlah 3.000 orang. VOC kewalahan dan Batavia berkali kali diobrak abrik, suatu ketika komandan VOC Pieter Scorpoi menggiring 1.354 rakyat Jampang lewat Cianjur untuk dihukum di Batavia banyak yang meninggal diperjalanan dan tersisa hanya 582 orang, tujuanya untuk mengendorkan semangat pasukan Alit Perwitasari. Justru th 1705 pasukan Alit Perwitasari menyerbu Priangan Timur, lalu mengepung Batavia dan Bogor, membuat kekacauan di Sumedang, mengalahkan Belanda dalam 3 kali pertempuran. Belanda Geram dan mengultimatum Bupati seluruh Tatar Sunda untuk menangkap Perwitasari, th 1706 pasukan Perwitasari memindahkan gerakannya ke Jawa dan tertangkap setelah ditipu Belanda di Kartasura tanggal 12 Juli 1707 dan dimakamkan di Desa Bingkeng Kec.Dayeuhluhur Kab.Cilacap dikenal sebagai makam turunan Panjalu. (faktualnya di Palalangon atau di Nambo???). RH.Alit Perwitasari Pahlawan yang terlupakan dari Cianjur berada di Dayeuhluhur. (ini relevan dengan Pemindahan Pos Batas Belanda dan Surakarta dari Pamotan ke Madura-Wanareja th.1705 untuk mengawasi pergerakan pasukan Alit Perwitasari)
    4.c. Kyai Ngabehi Raksapraja
    Dalam Naskah berbahasa Perancis LOUIS CHARLES DAMAIS, L’EPIGRAPHE MUSULMANE DANS LE SUD EAST ASIATIQUE HAL.589 (ISLAMISASI ASIA TENGGARA) disebutkan:
    Pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun Wawu (jika dikonversikan ke tahun masehi kisaran tahun 1681) Kyai Ngabehi Raksapraja diangkat menjadi Adipati Dayeuhluhur oleh Sunan Kartasura ( Sunan Amangkurat II Amangkurat Amral, yang memindahkan Mataram dari Kotagede ke Kartasura). Pengangkatannya bersamaan dengan pengangkatan pamannya Kyai Warga Jaya alias Kyai Ciptagati sebagai Baboon (Pelindung para pemimpin dan Kepala Desa) di wilayah Barat sampai Priangan. Babon melindungi keselamatan adipati dan akuwu dari bahaya serangan binatang buas (saat itu masih banyak binatang buas memangsa manusia). Kyai Ngabehi Raksapraja merupakan keturunan langsung darah laki-laki (garis bapak) dari Arya Gagak Ngampar yang menjadi adipati di Dayeuhluhur. Sedangkan Kyai Cipagati berputrakan Kyai Suradika.
    Untuk Memahami periode Raksapraja dan seterusnya maka kita harus menyimak sejarah Demak sampai Mataram era Amangkurat Amral.
    Pada tahun 1475-1478 Raden Patah/Cek Kopo/Senopati Jim Bun keturunan Brhe Kertabumi (Barawijaya V Raja Majapahit dari ibunya Muslim Cina berkebangsaan Campa (Wilayah Mongol) mendirikan Kadipaten Demak Bintoro sebagai wilayah perdikan di bawah Majapajit. Selama 1475 1478 tersebutlah ceritera bahwa para wali (Dewan Wali Sanga) mempengaruhi Raden Patah untuk mendirikan kerajaan Islam dan mengajak ayahandanya masuk Islam, sering terjadi perselisihan antara Majapahit dan Demak yang pada akhirnya terjadi penyerbuan Majapahit ke Demak yang dipimpin oleh Adipati Terung (Hussen anak Arya Damar Palembang dengan putri Campa yang diangkat Brawijaya V menjadi Adipati Terung) Penyerbuan berbalik menjadi koalisi setelah Adipati Terung mengetahui bahwa Raden Patah adalah Cek Hassan Kopo kakaknya satu ibu. Ketika Demak akan menyerang Majapahit telah didahului oleh serangan Dyah Ranawijaya Girindrawardhana th 1478 dan membunuh Brawijaya V, ia kemudian memindahkan Majapahit ke Kediri dan mengangkat diri sebagai Brawijaya VI. Saat itu pula Demak Bintoro memproklamirkan sebagai kerajaan Islam yang berdiri sendiri dan melanjutkan ekspansi penyerangan berkali-kali ke Majapahit. Unrtuk memperkuat armada perang dan hegemoni politik dibawah nasihat walisongo, putra-putri Demak banyak yang dinikahkan dengan putra putri kerajaan Cirebon sehingga terjalin koalisi Demak-Cirebon yang kuat yang mampu mengusasi Jawa Tengah dan Priangan Timur termasuk Pasirluhur dan Dayeuhluhur. Raden Patah wafat 1518 digantikan menantunya Pati Unus yang melakukan ekspedisi Malaka, Pati unus digantikan Sultan Trenggana th 1521. Saat inilah islamisasi menembus Jawa Timur dan Jawa Barat dan Kejayaan Demak Bintoro mencapai puncaknya dan sekaligus mencapai titik kulminasi, wafatnya Sultan Trenggono th 1546 menimbulkan perebutan kekuasaan internal antara Sekar Seda Lepen yang dibunuh Sunan Prawata, dan th. 1549 Sunan Prawata beserta keluarga dan menantunya adipati Jepara (suaminya Ratu Kalinyamat) dihabisi Arya Penangsang putra Sekar sedalepen. Menantu Sultan Trenggono, Jaka Tingkir/Karebet meminta bantuan Kiageng Penjawi dan Ki Ageng Pemanahan untuk membunuh Arya Penangsang, atas kesaktian Danang Sutawijaya dan taktik perang kedua arsitek perang tersebut Arya penangsang tewas ditusuk tombak kyai pleret yang dibawa Danang Sutawijaya putra dari Ki Ageng Pemanahan. Arya Penangsang tewas mengenaskan dengan usus terberai dan putus serta darahnya dipakai mandi keramas ratu kalinyamat yang menuntut balas atas pembunuhan adipati Jepara suaminya. Jaka Tingkir naik tahta menjadi raja dengan Gelar Sultan Hadiwijaya dan memindahkan kerajaan dari Demak ke Pajang dari tahun 1549 sampai 1582. Sebagai janji nya Ki Ageng Penjawi th 1549 itu juga langsung diberi hadiah wilayah tanah perdikan Pati, dan janji memberikan tanah perdikan Mentaok (mataram) kepada Ki Ageng Pemanahan dan Danang Sutawijaya ditunda-tunda karena takut akan ramalan sunan Giri bahwa kelak mataram dibawah danang sutawijaya akan menjadi kerajaan besar menenggelamkan Pajang sehingga hanya mengangkat Danang Sutawijaya sebagai anak angkatnya saja agar selalu di bawah pengawasannya. Setelah dibujuk oleh Sunan Kalijaga, th.1556 alas mentaok diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan dan Danang Sutawijaya.
    Dari 1546 sampai 1559 inilah wilayah dibawah Demak di Priangan dan Dayeuhluhur lepas dari kekuasaan Demak, Pajang hanya menguasai Jawa Timur dan ke barat hanya sampai Pasirluhur/ Banyumas. Th 1556 Ki Ageng Pemanahan dan Danang Sutawijaya membabat alas mentaok yang ganas dan banyak binatang buas di daerah Banguntapan, kemudian mendirikan astana di daerah Kota Gede, Selatan astana berkembang menjadi pasar yang ramai pasar kota Gede.Sehingga Danang Sutawijaya dikenal sebagai Ngabehi Loring Pasar yang pada th 1582 melepaskan diri dari Pajang mendirikan kerajaan Mataram dengan gelar Panembahan Senopati Ing Alaga. Sultan Hadiwijaya menyerang Mataram dan saat bertempur di Prambanan terjadi letusan merapi yang memuntahkan bebatuan, pasukan Pajang kalah dan Sultan Hadiwijaya terjatuh sakit dan akhirnya wafat dan Berwasiat kepada Pangeran Benowo anak laki-lakinya agar mengikuti dan tunduk kepada kakak angkatnya Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati. Akan tetapi sang menantu Hadiwijaya yaitu Arya Pangiri mengangkat diri menjadi Sultan Pajang ke dua 1583-1586 dan terus menerus menyerang Mataram namun selalu kalah, atas bantuan Mataram Pangeran Benowo dapat menggulingkan Arya Pangiri dan menjadi Sultan Pajang Ketiga dengan status di bawah Mataram, Karena Pangeran Benowo tidak memiliki putra Mahkota maka Pajang akhirnya menjadi Kadipaten di bawah Mataram dan ditunjuk Gagak Baning (adik Panembahan Senopati) sebagai adipati Pajang.
    Panembahan Senopati mengembangkan wilayah Mataram sampai Jawa Timur. Jawa Tengah dan Jawa Barat (th.1559 Galuh ditaklukan dan Kadipaten Dayeuhluhur dihidupkan kembali) tahun 1601 wafat digantikan putranya Raden Mas JOLANG / Panembahan Hanyokrowati yang meninggal misterius saat berburu di hutan Krapyak (Panembahan Sedo Krapyak) th 1613.
    Digantikan putranya Panembahan arya MARTAPURA yang hanya menjabat sehari dan menyerahkan tahta kepada adiknya Raden Mas RANGSANG dengan Gelar SULTAN AGUNG HANYOKROKUSUMO. Kematian HANYOKROWATI dan penobatan hanya sehari arya Marrtapura meninggalkan misteri tersendiri (dalam hal ini tersebar ceritera tutur tinular bahwa saat panembahan Senopati mengutus putrinya Putri Pembayun menjadi penari ledhek keliling guna memikat Ki Ageng Mangir yang sakti dia benar-benar jatuh cinta pada Ki Ageng Mangir, saat sungkem kepada mertuanya Ki Ageng Mangir dibunuh Panembahan Senopati dengan dipukulkan kepalanya ke watu gilang, saat itu putri pembayun telah hamil mengandung benih putra dari Ki Ageng Mangir, putri pembayun malarikan diri dan menjadi buron, konon saat melahirkan bayinya ditukar dengan bayinya Hanyokrowati dan diberi nama Raden Mas Rangsang. Saat kematian Hanyokrowati Raden Mas Rangsang tidak berada di istana entah kemana??? Saat penobatan Raden Arya Martapura Raden Mas Rangsang datang, dan arya Martapura kalah perbawa dan menyerahkan tahta kepada adiknya Raden Mas Rangsang, Karena ia merupakan keturunan campuran dari Panembahan Senopati dan Ki Ageng Mangir maka Raden Mas Rangsang memiliki charisma dan perbawa serta ilmu yang sangat mumpuni). Kepemimpinan Raden Mas Rangsang (Sultan Agung) membawa kejayaan Mataram menundukan Surabaya dan Madura serta Giri Prapen di wilayah Timur, di Wilayah Barat menjadikan seluruh Jawa Barat tunduk kepada Mataram kecuali banten, berkali-kali menyerang VOC di Batavia dan menumpas pemberontakan Dipati Ukur. Beliau memindahkan istana dari Kotagede ke Kerta-Pleret. Kekuasaan dan ketegasannya memimpin Mataram membawa kejayaan dan menjalin hubungan baik dengan kerajaan Arab Saudi dan Rumawi, Beliau wafat tahun 1645 setelah memimpin Mataram di puncak kejayaan selama 32 tahun. Banyak Peninggalannya di bidang sastra, tari dan kalender Jawa Islam perpaduan kalender hijriyah dan kalender aji saka serta menciptakan pranata mangsa serta ilmu perbintangan. Beliau ahli perang, agama, dan seni budaya. Pada tahun 1645 digantikan anaknya Sunan Amangkurat I (Sunan Amangkurat Jawa/Sunan Tegal Arum), berbeda dengan ayahnya, pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat I banyak wilayah yang melepaskan diri dari Mataram, dimulai oleh Wilayah Giri Prapen, akbibatnya Amangkurat menangkap dan mebunuh lebih dari 5.000 ulama dan dibunuh secara sadis di alun-alun. Sunan Amangkurat juga bekerjasama dengan VOC (musuh bebuyutan ayahnya) untuk menghentikan pemberontakan-pemberontakan. Ia juga berseteru dengan putra mahkotanya Amangkurat II dan adiknya Pangeran Puger. Perseteruan diawali saat ia terpikat oleh putri yang bernama Rara Hoyi yang masih di bawah umur dan dititipkan kepada pamanya pangeran pekik (pangeran dari Surabaya), ternyata Amangkurat II dan Rara Hoyi yang sepadan umurnya saling jatuh cinta dan akhirnya hamil, setelah Amangkurat I mengetahuinya maka murkalah ia dan Pangeran Pekik beserta seluruh keluarganya dibunuh dan Amangkurat II diminta memilih untuk ikut dibunuh atau membunuh rara Hoyi beserta kandungannya, tak ada pilihan dengan berat hati Amangkurat II membunuh Rara Hoyi dan meninggalkan istana dengan penuh dendam. Amangkurat II akhirnya bergabung dengan para pemberontak dari Jawa Timur dan Madura pimpinan Trunojoyo yang sakit hati atas pembunuhan ulama Giri prapen. Kedua tokoh ini saling mengikat janji untuk menjadi Raja dan Mahapatih, namun keperkasaan pasukan Trunojoyo sulit dikendalikan Amangkurat II dan akhirnya Trunojoyo meluluhlantakan kraton Pleret dan Amangkurat I menjadi bulan-bulanan dalam pelarian ke wilayah Barat. Mengikuti perkembangan ini Amangkurat II bertobat dan mengikuti ayahnya melarikan diri sampai ke Tegal Arum, saat di Tegal Arum dendam Angkurat II kembali timbul dan memberikan air Kelapa Muda beracun, disaat maut menjemput Amangkurat I berwasiat sekaligus memberikan kutukan, wasiatnya berupa tombak pusaka mataram Kyai Pelret untuk membunuh Trunojoyo dan kutukannya ia tidak akan memiliki keturunan yang berkuasa lama di Jawa. Amangkurat I meninggal tahun 1677. Di reruntuhan Keraton Pleret, Pangeran Puger mangangkat dirinya sebagai Raja Mataram Pengganti Amangkurat I. Setelah mendapat tombak pusaka kyai pleret Amangkurat II menyerbu Madura dan membunuh sahabatnya Pangeran Trunojoyo. Dan tahun 1680 mendirikan istana baru di Kartasura dan menggulingkan Pangeran Puger yang lari ke Semarang berlindung kepada VOC. Mataram 1680 s/d 1703 dibawah kekuasaan Amangkurat II atau Amangkurat Amral. Ia berpermaisurikan Ratu Blitar yang sangat pencemburu dan selalu memerintahkan selir-selirnya yang hamil untuk menggugurkan kandungannya jika tidak maka akan dibunuh sang permaisuri yang takut putra mahkotanya raden mas SUTIKNA atau pangeran Kencet (kakinya kecil) mendapat saingan. Untuk menghentikan kondisi tersebut Amangkurat II menghadiahkan selir-selirnya yang diperkirakan hamil kepada bawahannya terutama para bupati untuk dinikahi dengan catatan tidak dicampuri selama bayinya belum lahir, setelah lahir saat sudah mulai umur 7 tahun diperintahkan agar anak tersebut magang dalam pendidikan di kraton Kartasura sampai dewasa dan dapat menggantikan kedudukan ayah tirinya.
    5. Dayeuhluhur Masa Kartasura ( Masa Ngabehi Wirapraja)
    Demikian halnya dengan Bupati Dayeuhluhur Kyai Ngabehi Raksapraja mendapat anugerah selir Amangkurat II yang sedang hamil 5 bulan untuk diperistri dan tidak dicampuri sampai bayinya lahir. Setelah bayi lahir dan berumur 7 tahun diminta untuk magang pendidikan di Kraton Kartasura dan diberi nama Ngabehi WIRAPRAJA yang kemudian menggantikan ayah tirinya yang masih hidup untuk menjadi Bupati Dayeuhluhur mulai tahun 1698.
    Pada saat ini (th 1705) wilayah Dayeuhluhur dikurangi luasnya (dikurangi Distrik Madura) hal tersebut terjadi karena :
    Setelah Sunan Puger kembali ke Kartasura dengan bantuan VOC mengalahkan Amangkurat III dan bertahta dengan gelar Pakubuwono I, pada tanggal 5 Oktober 1705 diadakan perjanjian antara Kerajaan Mataram dan Kompeni di Kartasura, sebagai upah atas bantuannya menyelesaikan masalah perebutan kekuasaan di lingkungan Kerajaan Mataram, sebagian wilayah Pulau Jawa diserahkan VOC dimana Batas timur daerah kekuasaan VOC berpindah dari Ci Pamanukan (Krawang) ke Sungai Losari (Kabupaten Brebes) di utara dan Sungai Donan (Kabupaten Banyumas) di selatan melewati : Sungai Donan di Laut Selatan. Sepanjang sungai tersebut ke arah barat sampai Segara Anakan ke arah utara sampai muara Sungai Tsiborom (Cibereum). Sepanjang tepi timur dan utara dari rawa yang tidak dapat dilalui sampai Tsisatia (Cisatya) sekitar Desa Madura (sekarang nama desa di Kecamatan Wanareja), ke arah utara sebelah timur melalui Kaduomas dan Pegunungan Dailoer (Dayaluhur), Kabuyutan Aria sampai Gunung Sumana setelah Subang. Sebelah Tenggara Gunung Bonkock ke arah utara sampai Sungai Lassarij (Losari) Dalam Pasal II Perjanjian 5 Oktober 1705 disebutkan jika juridikasi dan kepemilikan tanah di sebelah barat dari gunung gunung dan sungai sungai tersebut diserahkan kepada Kompeni. Daerah Dayeuhluhur yang menjadi bagian jajahan Kompeni kemudian dibentuk menjadi Distrik Madura, Kabupaten Galuh Imbanegara, Karesidenan Cirebon dan menjelang pelaksanaan perjanjian tersebut, pada tanggal 6 April 1706 Kompeni memindahkan pos militernya dari Pamotan ke Madura (sekarang Cilacap Barat), yang dipimpin oleh Vaandrig Egbert Jansz. Pada waktu itu di Priangan Tenggara memang sedang berkecamuk gangguan keamanan gerombolan Prawata Sari
    Teks asli Akte Batas Pemisah Perjanjian 5 Oktober 1705 :
    Is met onderlinge toestmminge confort het contract voorm, en d ordres van de respective principalen geaccordeerd en vastgesteld, dat de limitscheijdinge voorn, beginnende van de noordskant met de mond der rivier Lassarij, daar se in zee uijtwaterd, langs dese revier opwaarts sal loopen tot daar de rivier djangkelok (Tjitjangkelok) sihh instord en met d, tot den berg poetsjang, gelegen aan desselfs oever en tegenover bantar panjang, wijders-ooswaarts tot het reviertje Cawajoedang (1) en langs d, opwaarts tot daar het sprijtje Tzimandala komt in te vloeijen, en met d. opklimmend tot desselfs oorsprong uijt de berg Gora, vervolgens langs het hooge en onbeganckelijke geberte, te weten, de bergen Gora gem. Tagal kanja, bankok, kaqdaka, Soemana, Sawa, Mana, Manik, Soebang en bonkok (de tweede van dien naam) ende Z. westwaarts afdalen met het spruijtje Tsidata (Tjilatjap) in de rivier Tsijolang (Tjidjolang) ende langs d, tot de klip Patanga tangan (2), gelegen aan desselfs oever beoosten en sijnde het begin van t district Madura. Vervolgens met een Oost - en Zuijdelijke curs van Patanga tanga gem. Dienende tot limitscheijdinge Wounkal kantja (een klip), Wounkal tougal (d). Boukit gagang Ountoung (een hooge heuvel gelegen aan het spruijtje van dien naam katomas (3) (een hooge drioens boom) Lowinouttouk (een klip aan t spruijtje van dien naam), paitaiang (4) (roodagtige steenplaats) den hoogen boom boetat (5) dicht aan t spruijtje Tzjakkar, tot den berg Tsoursouroe, ende van daar afdelende tot de rivier Tsikeojang, en met d, uijtkomen in de rivier Tsiborom, en met d. Oostspruijt in het binnen meir gent. Segaranakan, vervolgens langs d. strand (6) en cannal (Moteng) (7) tot in de rivier den donang ende langs d. tot desselfs mond en uijtwatering in zee, besuijden dit Eijland.
    Aldus gedaan en gepasseerd op de negorij Donang den 12 Julij 1706_, (Volgwn de handteekeningen).
    (1) Aria : Kaboejouton : missehien : Kabojoetan (KABUYUTAN ARIA)
    (2) id. : Selabatanga Tanga
    (3) id. : Kadoehomaas (KADUOMAS)
    (4) id : Batahiejang
    (5) id. : Kadjang Poetat
    (6) id. : Oosterstrand
    (7) id. : de rivier Mendeng
    Teks asli Pasal II Perjanjian 5 Oktober 1705 :
    Art II. Den Sousahounang hout voor goed, cedeert en bevestigt bij desen aan dE. Comp, de jurisdictie en eijgendom der landen bewesten de volgende rivieren en bergen; beginnende van de mond der rivier den Donan, daar se in de Zuijdzee ujitloopt, en voorts langs dito rivier west heenen tot Pssoroubn daar het binnenmeir begind; wijders dan noordwaarts heenen langs de oost- en noordkant van d. meir tot de mond der rivier Tsiborom en langs de oost - en noordkant van het daaraan volgende ontoegangbare moeras tot Tsisatia omrent de negorije Madura, en van daar vervolgens Noorden ten Oosten door en over het gebergte van Dailor tot den berg Soemana off Soebang en voorts bezuijden en beoosten om het geberghte Bonkock, om soo wijders met een noordelijken cours af ebn aijt te komen op de rivier can Lassarij aan, en eijndelijk langs dito rivier tot aan desselfs mond en uijtwatering in zee aan de noordkant van dit eijland, invoegen ook het district van Gabang daarin komt begrepen te werden; verklarende de Compagnie van die landen to sjin wettig ende souverain, Heer, sonder dat daarop oijt of oijt (1) eenige de minste pretensien, tsij door Zign Hoogheijt ofte sijne succeseurs van het Mataramse rijk, zullen mogen gemaakt werden, waartoe dien Sousouhounang belooft van sijn sal senden om de limitscheijdinge te reguleren.
    Pada periode ini, wilayah Priangan telah tunduk pada VOC sehingga membuat geram Prabu Pakubuwono II dan mengutus Bupati Banyumas (Yudanegara II ) dan Bupati Dayeuhluhur (Ngabehi Wirapraja) untuk menyerang Priangan dan Cirebon Selatan. Sampai akhirnya di Ciancang terjadilah Tragedi Ciancang yang porak poranda dan banjir darah oleh serangan Banyumas dan Dayeuhluhur sehingga orang Jawa Mengatakan banjir darah berbau amis (anyir) sehingga dinamakan dengan Ciamis. Galuh akhirnya meminta bantuan VOC dan daerah underbow VOC untuk mengusir perusuh Banyumas tersebut dan pasukan Banyumas dan Dayeuhkuhur dapat dikalahkan dan Ngabehi Wirapraja gugur di Ciancang tahun 1740 dan dimakamkan di pesareyan kulon dusun Cipancur Dayeuhluhur meninggalkan banyak anak-anak yang masih kecil yang diasuh bapak tirinya Rakspraja. Meskipun anaknya banyak catatan dalam silsilah kebanyakan hanya mampu mencatat 3sampai 4 anak, kecuali catatan dari Majenang dan Purwokerto yang menyebutkan dapat mencatat 5 anak-anak dari Ngabehi Wirapraja sbb :
    1. Ngabehi Wiradika I
    2. Rangga Wirasraya I
    3. Mas Suradika (putri; istri Kyai Suradika alias Dewi Maskiah)
    4. Mas Ajeng Wirosari (putri; istri RM Wirosari Banyumas kelak menurunkan Trah Bratadiningrat, bupati-bupati Banyumas))
    5. Mas Ajeng Cakramenggala (putrid)
    Sambil menunggu putra putrinya dewasa pemerintahan Kadipaten Dayeuhluhur dijalankan lagi oleh Ngabehi Reksa Praja 1740 s/d 1755. Ngabehi Raksapraja ini memang tokoh yang fenomenal, beliau berumur panjang dan sangat luwes. Saat meninggalnya dimakamkan di sareyan Kulon Cipancur Dayeuhluhur.
    Karena tahun 1742 terjadi pemberontakan Cina yang menghancurkan Keraton Kartasura, Pakubuwono II tahun 1745 memindahkan Keraton Kartasura ke Surakarta. Selanjutnya terjadi pemberontakan RM.Sudjadi (P.Mangkubumi) dikenal dengan Perang Jawa. Pakubuwono II menandatangani Perjanjian Penyerahan Kerajaan (Act of Cession) pada tanggal 11 Desember 1749 tentang penyerahan kedaulatan kepada Kompeni dan perlindungan semua putera Susuhunan. Pada tanggal 15 Desember 1749, Putera Mahkota yang baru berusia 16 tahun dinobatkan menjadi Susuhunan Pakubuwono III. Beliau menyadari jika pengangkatannya bukan karena keturunan, tetapi karena Kompeni menunjuknya. Sejak itu secara de jure Surakarta menjadi vassal Kompeni. Dengan demikian daerah termasuk Kabupaten Dayeuhluhur seluruhnya secara de jure di bawah kekuasaan Kompeni, akan tetapi karena Kompeni memerintah secara tidak langsung melalui Kerajaan Mataram, maka secara de facto perubahan kekuasaan itu tidak terasa.
    Setelah perang Jawa (perang Mangkubumi) berlangsung lama (1746-1755) Di Gianti, pada tanggal 13 Februari 1755 sesuai perjanjian 11 Desember 1749 (Acte van afstand en overgave van het Mataramsche rijk van Pakubuwono II), Kompeni menyerahkan separuh Kerajaan Mataram kepada Pangeran Mangkubumi dengan nama dan gelar Sultan Hamengkubuwono I, Sultan Yogyakarta. Palihan Nagari yaitu Kerajaan Mataram menjadi Kerajaan Surakarta dan Kerajaan Yogyakarta. Kerajaan Surakarta meliputi sebagian besar daerah Mancanegara Kulon dan setengah masing masing daerah Agung, sedangkan Kerajaan Yogyakarta sebaliknya. Dengan demikian akan timbul perselisihan
    Setelah Perjanjian Giyanti, secara de facto Kabupaten dayeuhluhur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Surakarta meskipun secara geografis terletak di sebelah barat Kerajaan Yogyakarta. Rajanya adalah Susuhunan Pakubuwono III beribukota di Surakarta. Sehingga para pejabat mancanegara kilen termasuk Ngabehi Dayeuhluhur bila menghadap Raja Surakarta tiap tahun, berangkat sebelum Gerebeg Mulud dan pulang sesudah Grebeg Siyam, harus berkali kali melintasi perbatasan ke dua kerajaan.
    6. Dayeuhluhur Masa Penjajahan Belanda (Masa Surakarta)
    6.a. Ngabehi Wiradika I
    Pada tahun 1755 setelah dewasa dan cukup umur, anak pertama Wirapraja yaitu Ngabehi Wiradika I menjadi Bupati Dayeuhluhur dan menikah dengan putri dari Tegal namun tidak berputra alias Ngabehi Tutup/gaboeg. Tahun 1788 Wiradika I dituduh berbuat makar dan diasingkan ke Ponorogo. Karena ia tidak berputra maka kedudukan Bupati selanjutnya digantikan oleh kepononkannya (anak pertama dari Rangga Wirasraya I) dengan gelar Wiradika II
    6.b. Ngabehi Wiradika II
    Kyai Ngabehi Wiradika II menjabat Bupati Dayeuhluhur selama 2 periode pada masa yang berbeda. Untuk periode I tahun 1788 s/d 1799, karena dianggap kurang cakap maka tahun 1799 beliau diperintahkan magang di Keraton Surakarta dengan nama Ngabehi Wirasentika, saat magang dinikahkan dengan putri dari Tumenggung Wiraguna II (Bupati Penumping Kraton Surakarta). Periode II : 1803-1820 (lihat dualisme kepemimpinan)
    6.c. Raden Ngabehi DIPAWIKRAMA
    Saat Wiradika II magang, th 1799 diangkat Raden Ngabehi Dipawikrama menjadi Bupati Dayeuhluhur. Dipawikrama berasal dari Purbalingga (trah Arsantaka) beliau diangkat jadi Bupati Dayeuhluhur sebagai kompensasi atas pemecatan kakaknya Ngabehi Dipakusuma I sesama trah Arsantaka. Namun sayang Dipawikrama pun tidak sampai setahun menjabat, karena dituduh membunuh patihnya (Rangga Wirasraya II), Dipawikrama akhirnya dipecat dari jabatan Bupati Dayeuhluhur.
    6.d. Raden Tumenggung WIRAGUNA
    Sebagai ganti Dipawikrama maka ditunjuk R.Tmg.Wiraguna (orang berbeda tapi nama yang sama dengan Bpt.Penumping), ia adalah kakak beda ibu dengan Bupati Banyumas Ngabehi Cakrawedana I. Adik putri dari R.Tmg.Wiraguna menikah dengan Tumenggung Wiraguna II (Bupati Penumping Kraton Surakarta). Pada masa R.Tmg.Wiraguna 1799-1812 Kabupaten Dayeuhluhur ibukotanya dipindahkan ke Majenang (MENJADI Kabupaten Majenang) dan Dayeuhluhur menjadi berstatus desa biasa.
    6.e. Raden Tumenggung .WIRANAGARA
    Sebagai ganti Dipawikrama yang meninggal 1812 maka ditunjuk anaknya R.Tmg.Wiranagara sampai meninggalnya tahun 1824, setelah itu Kabupaten Majenang dihapuskan (lihat dualisme kepemimpinan)
    6.f. Dualisme Kepemimpinan
    Setelah masa magang dianggap cukup dan karena perikatan perkawinana dengan putri Tumenggung Wiragauna II (yang juga menikah dengan adik Wiraguna Bupati Majenang), maka tahun 1803 Wiradika II (Wirasentika) kembali diangkat menjadi Bupati Dayeuhluhur di Majenang sehingga terjadi dualism kepemimpinan dimana Wiraguna sebagai Bupati Majenang dan Wiradika II sebagai Bupati Dayeuhluhur dimana keduanya beribukota di Majenang. Wiradika II menjabat sampai tahun 1820 bersama Wiraguna dan Wiranagara. Tahun 1820 Wiradika II meninggal dan dikebumikan di pesareyan Gunung Purwa Dayeuhluhur.
    6.g. Kyai Ngabehi WIRADIKA III (TUMENGGUNG PRAWIRANEGARA)
    Untuk menggantikan kedudukan ayahnya Wiradika II yang meninggal, ditunjuklah putranya yang ke 8 yaitu Wiradika III (putra dari putri Tmg.Wiraguna II) sebagai Bupati Dayeuhluhur dan menjadi 2 pemimpin bersama Wiranagara sampai tahun 1824. Ketika Wiranaga meninggal th 1824 Kabupaten Majenang dilebur dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Dayeuhluhur dengan ibukota tetap di Majenang dengan Bupatinya Wiradika III (sebagian orang menjadi menganggap sebagai kabupaten Majenang, dimana Wiradika III dianggap sbg Bupati Majenang).
    Tahun 1825-1830 terjadi Perang Diponegoro, yang dimulai pada tanggal 20 Juli 1825 bisa dikatakan berakhir pada tanggal 28 Maret 1830 sehari setelah Lebaran, dengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro ketika tertipu dalam perundingan dengan Jendral de Kock di rumah Residen Kedu, Mr. Valck di Magelang.Perlawanan terakhir Pasukan Diponegoro terdapat di perbatasan daerah Dayaluhur dan Banyumas yang dipimpin oleh Demang Ajibarang Singadipa.
    Walaupun Kerajaan Surakarta tidak turut melawan, dengan alasan bahwa Pemerintah Belanda terpaksa terus menerus melindungi Kerajaan Surakarta dan di kemudian hari boleh jadi akan demikian pula. Pemerintah Belanda meminta ganti rugi bagi pengorbanannya. Kerajaan Surakarta merasa berat melepaskan daerah Mancanegara yang diminta Pemerintah Belanda, akan tetapi tidak mampu menolaknya. Bagelen hendak ditahan, tetapi komisi menjawab bahwa para bangsawan dan pejabat akan diberi ganti rugi. Susuhunan Pakubuwono VI merasa kesal, pada tanggal 5 Malam 6 Juni 1830 meninggalkan Istana Surakarta, tanpa memberitahu Residen, dengan maksud berziarah ke makam nenek moyangnya di Imogiri dan bersemedi, tetapi kemudian ditangkap Belanda di Gua Mancingan.
    Setelah Susuhunan Pakubuwono VII berkuasa, pada tanggal 22 Juni 1830, Pemerintah Hindia Belanda mengadakan perjanjian baru dengan Susuhunan Pakubuwono VII . Mancanegara diserahkan pada Pemerintah Hindia Belanda yang akan membayar sebesar f 204.000 / tahun sebagai ganti rugi dan Susuhunan akan diminta pendapat dalam hal pengangkatan para bupati.
    Dengan demikian sejak tanggal 22 Juni 1830 kekuasaan Kerajaan Surakarta tamat di daerah mancanegara termasuk Dayeuhluhur, Jaman Jawa diganti Jaman (penjajahan) Belanda. Adapun wilayah Dayaluhur saat itu , batas barat Karesidenan Cirebon, timur Tayem, utara Tagal dan selatan Sungai Cikawung, ibukota Majenang. Tanah Dayaluhur merupakan sebagian daerah cikal bakal ex Kawedanan Majenang dan Sidareja.
    Pada tanggal 14 Oktober 1830 diusulkan agar Tanah Madura digabungkan dengan Dayaluhur dengan ibukota Majenang yang jaraknya hanya 12 pal (sekitar 18 km) dan batas Dayaluhur agar dimekarkan ke arah barat sampai Sungai Cijulang, sehingga pemasaran komoditas export menemukan jalan keluar melalui sungai sungai tersebut dari pada melalui Cirebon yang bergunung gunung dan berjarak 81 pal (sekitar 121,5 km). Atas usul Mr. Vitalis berdasar kepentingan ekonomis, maka batas barat Kabupaten Cilacap yang sekarang ini tidak lagi merupakan batas alamiah etnis seperti diutarakan ahli bahasa Mr. Kern tentang batas Kerajaan Mataram dan Kompeni berdasar perjanjian tahun 1705 di Kartasura. Oleh Karena itu sampai sekarang bagian barat Kabupaten Cilacap dihuni oleh penduduk berbahasa Sunda.Dalam Nota Pembagian Wilayah Baratlaut yang dilaporkan Asisten Residen Vitalis kemudian, daerah Banyumas Baratlaut dibagi menjadi 2 Afdeling yaitu Ajibarang dan Dayaluhur. Sebagai ilustrasi cacah jiwa daerah cikal bakal Kabupaten Cilacap pada tahun 1830, dikutipkan dari nota tersebut cacah jiwa Dayaluhur:
    Distrik Kampung Rumah Tangga Penduduk
    Majenang 48 739 3795
    Madura 53 1324 6620
    Pegadingan 31 431 2150
    Tayem 102 1452 7260
    Jambu 122 1357 6785
    Jeruklegi 115 1595 7975
    Nusakambangan 14 168 1284
    Jumlah 485 7086 35869
    Luas daerah Dayaluhur boleh dikatakan tidak mengalami perubahan selama pergantian kekuasaan Kerajaan Demak (1478-1546), Pajang (1546-1587), Mataram (1587-1755) dan Surakarta (1755-1830). Daerah Dayaluhur, sejak tahun 1816 ibukotanya di Majenang, menurut Kontrolir Vitalis pada tahun 1830, di sebelah barat berbatasan dengan Karesidenan Cirebon, utara Karesidenan Tegal, timur Tanah Tayem, selatan Sungai Cikawung yaitu berbatasan dengan Babakan, Panjaran dan Pegadingan luasnya hanya 144 bau (1 bau = 7.000m2).
    Sesuai dengan surat keputusan Gubernur Jendral Mr. J. G. van den Bosch tanggal 18 Desember 1830 no. 1, maka Mr. P.H. van Lawick van Pabst, Komisaris Tanah Tanah Kerajaan yang diambil alih di Semarang pada tanggal 20 April 1830 menyusun batas batas Kabupaten Dayu Luhur sebagai berikut :
    a. Batas selatan : dari muara Sungai Serayu mengikuti batas selatan Karesidenan Banyumas, menelusuri pantai ke arah barat daya melalui desa Cilacap hingga muara Sungai Citandui.
    b. Batas barat : mengikuti sebagian batas barat Karesidenan Banyumas, dari muara Sungai Citandui ke hulu sampai muara Sungai Cijulang di selatan, ke hulu sampai kaki barat Gunung Bongkok.
    c. Batas utara : dari kaki barat Gunung Bongkok melalui puncaknya ke arah Gunung Suban, ke arah timur menuju Gunung Telaga di Pegunungan Kendeng Utara.
    d. Batas timur : dari Gunung Telaga Boga ke arah selatan melalui Gunung gunung Caun, Windu Negara, Puseran, Kotajaya dan Gunung Badok menuju ke kaki gunung terakhir pada tepi Sungai Serayu dan ke arah hilir sampai muara Sungai Serayu.
    Jadi pada waktu itu Kabupaten Dayu Luhur merupakan daerah cikal bakal Kabupaten Cilacap sebelah barat Sungai Serayu, sedangkan daerah cikal bakal sebelah timur Sungai Serayu (ex Kawedanan Kroya) masih termasuk Kabupaten Banyumas.(Amuttetz, J.E.Z., Kort Verslag der Rivier Serajoe in de Residentie Banjoemaas en het Terrein Telatjap 1831, Pekalongan, den 15 April 1831, ANRIJ dan Bijlagen van het Resolutie, Bundel Besluit den 22 Augustus 1831 no 1, ANRIJ)
    Pejabat Pejabat Eropa Afdeling Ajibarang:
    Kabupaten Dayu Luhur bersama Kabupaten Ajibarang merupakan satu Afdeling Ajibarang dengan ibukota Ajibarang. Oleh karena itu Asisten residen Afdeling Ajibarang Mr. D. A. Varkevisser bertempat tinggal di Ajibarang. Jabatan onderkolektur yang dipangku pejabat pribumi termasuk formasi pejabat Eropa, mereka juga berdomisili di Ajibarang dan dijabat oleh Mas Yudadiwiria.Staf Afdeling terdiri dari Klerk (pembantu jurutulis) Eropa dan pribumi, seorang Hupupas dan 6 orang Upas, seorang Hukanjeneman dan 4 orang Kajenemen.
    Pejabat pejabat pribumi Kabupaten Dayu Luhur:
    Oleh Komisaris, formasi jabatan kabupaten dinamakan Polisi Umum (Algemeene Policie), di Distrik dinamakan Polisi Distrik.
    Polisi Umum Dayu Luhur yang pertama adalah:
    a. Regent : Raden Tumenggung Prawiranegara gaji f 500
    b. Patih : Mas Kramayuda gaji f 75
    c. Kliwon : Mas Reksadikara gaji f 30
    d. Mantri : Mas Kramasudira dan Mas Pertiwa gaji f 20
    e. Jaksa : Jayamenggala gaji f 30
    f. Penghulu : Tayep gaji f 20
    g. Jurutulis regent f 15
    h. 6 orang Jaga Karsa gaji f 6
    Polisi Distrik Majenang :
    a. Wedana : Mas Reksadika gaji f 60
    b. Mantri : Mas Singamenggala gaji f 20
    c. Jurutulis gaji f 12
    d. 5 orang Jaga Karsa gaji f 6
    Polisi Distrik Dayu - Luhur :
    a. Wedana : Mas Wirakertika gaji f 60
    b. Mantri : Mas Palwawijaya gaji f 20
    c. Jurutulis gaji f 12
    d. 6 orang Jaga Karsa gaji f 6
    Polisi Distrik Pegadingan :
    a. Wedana : Mas Mertadika gaji f 60
    b. Mantri : Mas Yuda Anggaranu dan Yudarana
    c. Jurutulis gaji f 12
    d. 7 orang Jaga Karsa gaji f 6
    Polisi Distrik Jeruklegi :
    a. Wedana : Mas Dipawangsa gaji f 60
    b. Mantri : Mas Pancasela gaji f 20
    c. Jurutulis gaji f 12
    d. 5 orang Jaga Karsa gaji f 6
    Sebab penduduk di Kabupaten Dayu Luhur jarang, maka gaji pegawai kabupaten tersebut lebih sedikit daripada gaji pegawai di kebupaten lain.
    Sebagai contoh perbandingan gaji pegawai Polisi Distrik Ayah (Adireja), cikal bakal ex Kawedanan Kroya yang pada waktu itu termasuk Kabupaten Banyumas :
    a. Wedana : Mas Ngabehi Kertapraja gaji f 80
    b. Mantri : Mas Candradirana dan Yudasudira gaji f 30
    c. Jurutulis gaji f 15
    d. 4 orang Jaga Karsa gaji f 8
    Batas batas 4 distrik dalam Kabupaten Dayu Luhur :
    a. Distrik Dayu Luhur : Dari puncak Gunung Suban, ke arah barat, baratdaya melalui Gunung Bongkok sampai Sungai Cijulang, ke hilir sampai bermuara di Sungai Citandui, ke hilir menuju tepi Rawa Buaya. Dari titik tersebut ke arah timur laut menuju Pegunungan Sesuru, ke arah utara menuju Sungai Cikawung, ke hilir menuju Sungai Cigegumi bermuara, ke arah utara menuju Gunung Cendana dan satu garis lurus menuju Sungai Cijalu, ke hilir menuju Kendeng sebelah utara (Gunung Sengan), ke arah barat menuju puncak Gunung Suban.
    b. Distrik Majenang : Sebelah barat batas timur Distrik Dayu Luhur menuju Sungai Cigegumi bermuara di Sungai Cikawung, ke arah timur dan tenggara menuju Sungai Cikondang bermuara ke hulu menuju mata air di Kendeng sebelah utara. Dari titik mata rantai pegunungan tersebut ke arah barat melalui puncak puncak utara Gunung-gunung Mruyung, Selokambang dan Geni, terus menuju puncak Gunung Sengan.
    c. Distrik Pegadingan : Sebelah timur, batas sebelah barat Kabupaten Ajibarang dan Distrik Jeruklegi. Sebelah barat sepanjang Sungai Citandui ke hulu menuju batas selatan Distrik Dayu Luhur. Sebelah utara, batas sebelah selatan Distrik Majenang, menuju Sungai Dikandang menuju mata air yang terletak di Kendeng sebelah utara, dari situ ke arah timur menuju Gunung Telagaboga. Sebelah selatan, Segara Anakan dan Laut Selatan.
    d. Distrik Jeruklegi : Dari muara Sungai Serayu menuju kaki Gunung Badak, dari sana menuju rantai gunung gunung Kutajaya, lebih jauh dari pegunungan ini melalui puncak puncak Gunung Prumpung, Blubuk dan Banjaran, dari kaki gunung ini menuju Sungai Ciaur, ke hilir sampai bermuara di Segara Anakan, dari tepi pantai ke arah selatan, lebih jauh ke arah tenggara menuju Desa Celacap, dari sana ke arah timur laut sepanjang pantai menuju muara Sungai Serayu.Pembentukan Kabupaten Dayu-Luhur pada Zaman Penjajahan Belanda sebetulnya merupakan pemekaran yang luar biasa dari Negeri Dayaluhur lama pada Zaman Jawa. Daerah yang semula hanya seluas 144 bau (1 bau = 7.000m2), sekarang mekar ke segala penjuru utara, dengan pemerasan damai dari wilayah Hindia Belanda yang lama, yaitu sebagian Distrik Madura, Kepatihan Imbanegara, Kabupaten Galuh, Karesidenan Cirebon, dan dari daerah ex Kerajaan Surakarta lainnya, seperti sebagian Kabupaten Banyumas Kasepuhan dan Kanoman, Pancang (Jeruklegi) dan Perdikan (Donan).
    Disamping itu, para pejabat baru Kabupaten Dayu-Luhur Afdeling Ajibarang adalah tetap para pejabat ex Negeri Dayu-Luhur Kerajaan Surakarta, oleh karena itu wajar apabila mereka secara tidak terduga semula merasa mendapatkan promosi dalam bidang kewenangan dan pendapatan, karena memang Negeri Dayu-Luhur sudah sejak abad XV berkuasa di daerah cikal bakal Kabupaten Cilacap sebelah barat Sungai Serayu.
    7. Pembubaran Kabupaten Dayeuhluhur oleh Belanda
    Karena dianggap membela P.Diponegoro (ada yang menyebutkan karena tindakan kriminal) Tumenggung Prawiranegara Bupati Dayu Luhur dipecat dari kedudukannya dan kemudian dibuang ke Pulau Banda. Raden Wirjaatmadja dalam Babad Banyumas secara singkat hanya memberitakan jika Tumenggung Prawiranegara menderita sakit jiwa dan dibuang ke Padang.
    Dengan surat Asisten Residen Ajibarang pada tanggal 24 Oktober 1831 no 184, Bupati Ajibarang diberi kuasa Kabupaten Dayu-Luhur. Lowongan jabatan Bupati Dayu-Luhur ditiadakan. Oleh karena itu Kabupaten Dayu-Luhur yang baru 2 bulan dikukuhkan, merosot statusnya menjadi Kepatihan (Pattehschap) Dayu-Luhur Kabupaten Ajibarang, yang dipimpin oleh Mas Kramayuda.
    8. Pembentukan Kabupaten Cilacap oleh Belanda
    Gubernur Jendral Mr. J. G. van den Bosch mengunjungi Cilacap pada tanggal 9 Oktober 1832 dan mengubah status Kabupaten Dayu-Luhur menjadi Kepatihan (Patteschap) Dayu-Luhur.
    Dengan surat keputusan tanggal 15 Mei 1838 no 5, Pemerintah Hindia Belanda hanya menyetujui usul mutasi para pejabat Pattehschap Dayu-Luhur saja, sedangkan perubahan struktur tidak. Adapun usul yang dikukuhkan yaitu :
    1. Mas Kramayuda (42 tahun), Patih Dayu-Luhur, karena kesalahannya, diberhentikan dengan hormat, mendapat pensiun f 30, dan diganti oleh Wedana Dayu-Luhur Mas Wirakertika dengan nama Mas Wiradika, dengan gaji f 150. Wedana Dayu-Luhur diganti oleh Kliwon Majenang Resadikara. Kliwon Majenang diganti oleh Tirtadirana, jurutulis Asisten Residen Purwokerto yang pernah menjadi jurutulis Distrik Jeruklegi (1831 1834) dan jurutulis Terusan Kesugihan Kuripan (1834 1835).
    2. Mas Mertadikara, Wedana Pegadingan, karena tidak cakap, diganti oleh Mantri Pegadingan, Kyai Yudarana. Mantri Pegadingan diganti oleh Jaga Karsa Pegadingan Mertawijaya.
    Menurut Residen Banyumas, Mr. G. de Seriere, Mas Kramayuda adalah seorang pejabat yang sangat giat, ikut mendirikan bangunan di Cilacap, membangun terusan, hidup di rawa rawa. Oleh karena itu menjadi sakit, sehingga tidak mampu keluar dari rumahnya. Dapat dikatakan jika Mas Kramayuda adalah korban pejabat ketiga pembangunan terusan di Cilacap. Akibat usul Residen G. de Seriere memindahkan ibukota Pattehschap Dayu-Luhur dari Majenang ke Cilacap (sekarang). Menurut Mangkoewinata, Mas Kramayuda lebih suka dipensiunkan atau diturunkan pangkatnya menjadi wedana, asalkan tidak ditempatkan di Cilacap, sebab saat itu Cilacap sangat angker. Demikian pula Mas Mertasura, Mantri Gudang Jatilawang, putera Bupati Purwokerto, Adipati Mertadireja II, yang oleh ayahnya dijagokan menjadi Patih Kepala Daerah juga menolak, beliau lebih suka tetap di tempat atau kalau dipindahkan, memilih lain Regentschap. Demikian pula pejabat pejabat lain, tidak ada yang mau dipromosikan ke Cilacap, kecuali Patih Banyumas, Raden Tjakradimeja, walaupun sudah mendapat jabatan tinggi, beliau mengingat ayahandanya Raden Tjakrawedana I, almarhum Bupati Banyumas Kasepuhan.
    keputusan Wakil Gubernur Jendral, Mr. Merkus tanggal 27 Juni 1841 no 10231).tanggal 27 Juni 1841 no 19 ditetapkan :
    Kepatihan (Pattehschap) Dayu-Luhur dipisahkan dari Kabupaten Purwokerto dan Distrik Adireja dipisahkan dari Kabupaten Banyumas, dan dijadikan satu Afdeling tersendiri yaitu Afdeling Cilacap dengan ibukota Cilacap (sekarang) yang menjadi tempat kedudukan Kepala Pejabat Eropa, Asisten Residen dan Kepala Pejabat Pribumi Rangga atau Onder Regent dengan gaji f 150 per bulan, bukan Regent lazimnya. Dengan demikian Pemerintahan Pribumi dinamakan Onder Regentschap (dibawah Kabupaten).
    Adapun batas Distrik Adireja (Ayah) yang bersama Kepatihan Dayu-Luhur membentuk Onder-Regentschap Cilacap, menurut rencana sebelumnya Residen Banyumas, Mr. J.E. de Sturler tanggal 31 Maret 1831, yang dikukuhkan dengan Resolusi tanggal 22 Agustus 1831 no 1 adalah :
    Dari muara Sungai Serayu ke hulu menuju titik tengah ketinggian Gunung Prenteng. Dari sana menuju puncak, turun ke arah tenggara ke atas Pegunungan Kendeng dan terutama di atas Puncak Gunung Duwur, menuju Puncak Gunung Gumelem (Igir Melayat). Dari sana ke arah selatan mengikuti batas Karesidenan Banyumas dan Bagelen menuju laut. Dari sana sepanjang pantai menuju muara Sungai Serayu.
    Onder Regentschap Tjilatjap sebetulnya merupakan kesinambungan perubahan struktur kekuasaan pemerintahan daerah Negeri Dayu-Luhur yang pada saat terakhir bernama Pattehschap Dayu-Luhur, mengalami pemekaran wilayah dengan sebagian wilayah Distrik Adireja, perpindahan ibukota dari Majenang ke Cilacap dan perubahan nama dari Dayu-Luhur ke Cilacap, menjadi Onder Regentschap Cilacap atau dibawah Kabupaten Cilacap sesuai ketetapan surat keputusan Wakil Gubernur Jendral, Mr. Merkus tanggal 27 Juni 1841 no 10231).
    Struktur jabatan Onder Regentschap Cilacap pada saat pengukuhan struktur administrasi adalah sebagai berikut :
    Pejabat Eropa Nama Gaji
    Assistant Resident J. Prins f 500
    Pakhuis Mister J.A. Kempees f 300
    Pejabat Pribumi
    Rangga Raden Tjakradimeja f 150
    Kliwon Raden Surodiputro f 30
    Jaksa Raden Sastradiwirya f 30
    Penghulu Mas Tayib f 20
    Wedana Majenang Raden Wiradikrama f 60
    Mantri Majenang Mas Wangsakrama f 20
    Wedana Dayuluhur Mas Reksadikara f 60
    Mantri Dayuluhur Mas Purwawijaya f 20
    Wedana Pegadingan Mas Yudanegara f 60
    Mantri Pegadingan Mas Kramasudira f 30
    Mantri Pegadingan Mas Mertadijaya f 20
    Wedana Cilacap Mas Reksadika f 60
    Mantri Cilacap Mas Tirtawijaya f 30
    Mantri Cilacap Mas Wangsasemita f 20
    Wedana Adireja Mas Reksadiwirya f 80
    Mantri Adireja Mas Cadikrama f 30
    Mantri Adireja Mas Mertadiwirya f 30
    Mantan Pejabat Pribumi
    Raden Mertakusuma Mantan Ngabehi Ayah f 40
    R.T. Prawiranegara Mantan Regent Dayu-Luhur f 50
    Mas Mertadipura Mantan Wedana Majenang f 10
    Mas Kramayuda MantanPatih Dayu-luhur f 30
    surat keputusam Wakil Gubernur Jendral Mr. P. Merkus tanggal 20 Juli 1842 no 7 ditetapkan bahwa:
    1. Semua pejabat yang sementara diangkat dengan surat keputusan Residen Banyumas, dikukuhkan Pemerintah Hindia Belanda, termasuk pengakuan Raden Tjakradimeja, Patih Afdeling Cilacap menjadi Onder Regent / Rangga Cilacap dengan nama Raden Rangga Tjakradimeja.
    2. Kenaikan gaji Raden Rangga Tjakradimeja Cilacap disetujui. Dengan surat keputusan tersebut, kenaikan gaji Rangga pada prinsipnya disetujui. Oleh sebab jumlah kenaikan gaji tersebut belum disebut dalam surat keputusan, berarti Pemerintah Hindia Belanda masih membutuhkan argumentasi lagi yang lebih kuat dari Residen Banyumas. Jadi pada tanggal 8 September 1842, Residen Launy sekali lagi mengajukan permohonan usul. Beliau mengajukan kenaikan gaji Raden Rangga Tjakradimeja dari f 150
    menjadi f 300.
    Perlu dicatat disini luas dan jumlah penduduk Onder Regentschap Cilacap :
    Nama Distrik Luas pal Jumlah Penduduk
    Cilacap 434 700
    Adireja 280 24.000
    Pegadingan 496 8.316
    Majenang 196 1.154
    Dayu-Luhur 144 2.652
    Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 10 Februari 1845 hanya menyetujui pembentukan Distrik Kalireja, sedang penggabungan Distrik Majenang dan Dayu-Luhur supaya ditunda selama 3 bulan.
    Menurut penuturan Bupati Cilacap, R.M.A.A. Tjakrasiwaya pada Mangkoewinata, kakeknya Tumenggung Tjakradimeja, salah seorang puteranya yang lahir di Donan dinamakan Bagus Donan dan setelah dewasa bernama R.M. Panji Tjakrawiratmaja atau Panji Sepuh. Dalam daftar istri dan putera Raden Adipati Tjakrawedana, Bupati Cilacap yang disusun pada tahun 1873, Bagus Donan berusia 26 tahun, jadi semestinya beliau lahir pada tahun 1847, pada waktu ayahnya berdomisili di Donan. Dari Donan kemudian Raden Tumenggung Tjakradimeja pindah lagi ke Kampung Klapapitu (tujuh kelapa), tempat kedudukan Bupati Cilacap sampai sekarang ini.
    Apabila kita melihat angka di Pendopo Cilacap ditatah abadikan 1775 tanpa embel embel apapun, tarikh angka tersebut menunjukkan tahun Jawa yaitu 1775 Dal bertepatan dengan kalender Masehi antara 20 Desember 1846 dan 1 Desember 1847, sebab Bagus Donan lahir di Donan tahun 1847, maka minimal pembangunan Pendopo Kabupaten Cilacap didirikan tahun 1847 sebagai peringatan pembentukan Kabupaten Cilacap. Angka 1775 tersebut yang pasti bukan tahun Masehi sebab laporan laporan orang asing yang pernah meninjau Tlatjap, seperti Horsfield (1812) dan Ammutetz (1831) hanya melihat puing puing sisa pembajakan tahun 1806. Jadi kemungkinan besar Pendopo Kabupaten Cilacap sekarang mulai dibangun hari Senin Paing 21 Sapar 1774 Dal. Ceritanya setelah Bagus Donan lahir di Donan, kemungkinan Raden Tumenggung Tjakradimeja pindah ke Kampung Klapapitu, menempati rumah yang kemungkinan besar dibangun Senin Paing bertepatan dengan Kalender Masehi 8 Februari 1847 atau Rumah Kabupaten Cilacap sekarang
    Akhirnya Kabupaten Cilacap terbentuk pada masa Residen Banyumas ke 9, Mr. van den Moore. Pengajuan usul Pemerintah Hindia Belanda tanggal 2 Oktober 1855 yang ditandatangani Gubernur Jendral Mr. Duymaer van Twist, pada Menteri Kolonial di Kerajaan Belanda, mendapat persetujuan Raja Belanda dalam Kabinetsrescript van 29 Desember 1855 no 86, dan dengan Surat Rahasia Menteri Kolonial tanggal 5 Januari 1856 LaA no 7/A disampaikan pada Gubernur Jendral.
    Usul pembentukan Kabupaten Cilacap menurut Menteri Kolonial sebetulnya bermakna dua, pertama adalah permohonan persetujuan pembentukan Kabupaten Cilacap dan organisasi pejabat pribumi, sedangkan yang kedua adalah pengeluaran anggaran biaya lebih dari f 5,220 per tahun, yang keduanya memerlukan persetujuan Raja Belanda.
    Setelah menerima Surat Rahasia Menteri Kolonial, Pemerintah Hindia Belanda dengan surat keputusan Gubernur Jendral tanggal 21 Maret 1856 no 21 menetapkan :
    1. Onder Regentschap Cilacap ditingkatkan statusnya menjadi Regentschap (Kabupaten) Cilacap.
    2. Pemberhentian dan pengangkatan para pejabat yang telah ditetapkan yaitu :
    Staatsblad yang ditemukan saat pengesahan Cilacap berbunyi sebagai berikut :
    Staatsblad van Nederlandsch Indi
    No. 11 Verkrijgbaarstelling van zegels te Tjilatjap
    Besluit van den Gouverneur Generaal van Nederlandsch Indi, van den zygstn Februarij 1856 no 3.
    Gelegen, enz.
    De Raad van Nederlandsch Indi gehoord is goedgevonden en verstaan: Te Tjilatjap (residentie Banjoemas) worden zegels verkrijgbaar gesteld:
    De assitent residentie van de afdeeling Tjilatjap wordt met het debiet derzelve belast, onder genot der naar aan verbndene voordeelen en is ter zake verantwoordelijk aan de algemeene re kenkamen
    Afschrift, enz.
    Ter ordonantie van de Gouverneur Generaal van Nederlandsch Indi:
    De Algemeene Sekretaris, A.Prins
    Uitgegeven den derden Maart 1856
    De Algemeene Sekretaris, A.Prins
    Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 6 Juli 1856 no 17 tetap memutuskan pengangkatan:
    1. Raden Tumenggung Tjakrawedana II yang sekarang menjadi Onder Regent Cilacap menjadi Bupati Cilacap dengan gaji f 800 tiap bulan dan segala pendapatan tambahannya.
    2. Raden Sosrorejo yang sekarang menjadi Patih Purwokerto menjadi Patih Cilacap dengan gaji f 100 tiap bulan dan segala pendapatan ambahannya.
    Dengan pengangkatan jabatan Bupati dan Patih di Cilacap, maka berakhir proses pembentukan Kabupaten Cilacap dari Desa Cilacap, menjadi Distrik Jeruklegi, menjadi Kepatihan (Pattehschap) Dayu-Luhur tahun 1839 dan menjadi Kabupaten Cilacap (Regentschap van Tjilatjap) tahun 1856 .
    Keadaan Cilacap yang tidak sehat dan angker menyebabkan banyak pejabat waktu itu yang wafat pada saat masih memangku jabatan. Para pejabat pribumi yang wafat saat masih menduduki jabatannya adalah :
    1. Patih Cilacap I, Raden Sosrorejo wafat pada tanggal 3 April 1858
    2. Wedana Cilacap, Mas Arjopuro wafat pada bulan Maret 1870
    3. Bupati Cilacap I, Raden Adipati Tjakrawedana II wafat pada tanggal 1 Januari 1873 saat pesta tahun baru di rumah Rasiden Mr. C. de Waal yang dimakamkan di Pesarean Karangsuci, kota Cilacap sekarang.
    4. Bupati Cilacap II, Raden Tumenggung Tjakrawedana III wafat pada tanggal 9 Desember 1875.
    5. Bupati Cilacap III, Raden Tumenggung Tjakrawedana IV wafat pada tanggal 6 November 1881. Penggantinya adalah adik beliau yang tetap menggunakan nama asli, Raden Tumenggung Tjakrawerdaya.
    sumberhttp://dayeuhluhur.blogdetik.com/

    Selasa, 03 Maret 2015

    Kidung Dewa Ruci Mulang Bima

    Cerita kisah ajaran Dewa Ruci kepada Arya Wrekudara ketika masuk ke dasar samudera, memenuhi tugas gurunya dalam mencari air penghidupan (tirtamerta) ditulis pada sekitar abad 19 Masehi, disadur dari bentuk kakawin (berbentuk tembang) oleh pujangga Surakarta (tidak disebutkan namanya).

    Serat Dewa Ruci Kidung ini disampaikan dalam bentuk tembang macapat, dengan bahasa yang sangat halus. Bahasa yang digunakan disesuaikan dengan aliterasi dan asonansi sesuai denga rumus-rumus tembang. Untuk itulah banyak kita temukan bahasa-bahasa yang tidak mudah dipahami karena berasal dari bahasa Kawi, Sanskerta dan Jawa Kuno. Dan meskipun terjemahan ini masih jauh dari sempurna dan memerlukan perbaikan disana-sini, kiranya tetap dapat berguna untuk pelestarian kebudayaan kita, dan selanjutnya mohon koreksi kepada pembaca yang budiman tentang hal terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

    ———— Bebukaning Carita ———–


    dewa

    Kidung Dhandhanggula

    Arya Sena duk puruhita ring, Dhang Hyang Druna kinen ngulatana, toya ingkang nucekake, marang sariranipun, Arya Sena alias Wrekudara mantuk wewarti, marang negeri Ngamarta, pamit kadang sepuh, sira Prabu Yudistira, kang para ri sadaya nuju marengi, aneng ngarsaning raka.

    Artinya :

    Arya Sena ketika berguru kepada, Dhang Hyang Druna disuruh mencari, air yang mencyucikan, kepada badannya, Arya Sena alias Wrekudara pulang memberi kabar, kepada negeri Ngamarta, mohon diri kepada kakaknya, yaitu Prabu Ydistira, dan adik-adiknya semua, ketika kebetulan di hadapan kakaknya.

    Arya Sena matur ing raka ji, lamun arsa kesah mamprih toya, dening guru piduhe, Sri Darmaputra ngungun amiyarsa aturing ari, cipta lamun bebaya, Sang Nata mangungkung, Dyan Satriya Dananjaya, matur manembah ing raka Sri Narpati, punika tan sakeca.

    Artinya :

    Arya Sena berkata kepada Kakanda Raja, bahwa ia akan pergi mencari air, dengan petunjuk gurunya, Sri Darmaputra heran mendengar kata adiknya, memikirkan mara bahaya, Sang Raja menjadi berduka, Raden Satriya Dananjaya, berkata sambil meyembah kepada Kanda Raja, bahwa itu tidak baik.

    Inggih sampun paduka lilani, rayi tuwan kesahe punika, boten sakeca raose, Nangkula Sadewaku, pan umiring aturireki, watek raka paduka, Ngastina Sang Prabu, karya pangendra sangsara, pasthi Druna ginubel pinrih ngapusi, Pandawa sirnanira.

    Artinya :

    Sudahlah jangan diizinkan, adinda (Wrekudara) itu pergi rasanya itu tidak baik, Nakula dan Sadewa, juga menyetujui kata-kata Dananjaya, sifat kakanda tuanku, yang tinggal di Ngastina, hanya ingin menjerumuskan ke dalam kesengsaraan, tentu Druna dibujuk agar medustai, demi musnahnya Pandawa.

    Arya Sena miyarsa nauri, ingsun masa kenaa den ampah prapteng tiwas ingsun dhewe, wong nedya amrih putus, ing sucine badanireki, Sena sawusnya mojar, kalepat sumebrung, sira Prabu Darmaputra, myang kang rayi tetiga ngungun tan sipi, lir tinebak wong tuna.

    Artinya :

    Arya Sena mendengar itu lalu menjawab, aku tak mungkin dapat ditipu dan dibunuh, karena ingin mencari kesempurnaan, demi kesucian badan ku ini, setelah berkata begitu, Sena lalu segara pergi, Sang Prabu Darmaputra, dan ketiga adiknya sangat heran, bagaikan kehilangan sesuatu.

    Tan winarna kang kari prihatin, kawuwusa Sena lampahira, tanpa wadya among dhewe, mung braja kang tut pungkur, lampah mbener amurang margi, prahara munggeng ngarsa gora reh gumuruh, samya giras wong padesan, ingkang kambuh kaprunggul ndarodog ajrih mendhak ndhepes manembah.

    Artinya :

    Tak terkisahkan keadaan yang ditinggalkan dalam kesedian, diceritakanlah perjalanan Sena, tanpa kawan hanya sendirian, hanyalah sang petir yang mengikutinya dari belakang, berjalan lurus menentang jalan, angin topan yang menghadang di depan terdengar gemuruh riuh, orang-orang desa bingung, yang bertemu di tengah jalan gemetar katakutan sambil menyembah.

    Ana atur segah tan tinolih, langkung adreng prapteng Kurusetra, marga geng kambah lampahe, glising lampahira sru, gapura geng munggul kaeksi, pucak mutyara muncar, saking doh ngenguwung, lir kumembaring baskara, kuneng wau kang lagya lampah neng margi, wuwusen ing Ngastina.

    Artinya :

    Kesediaan yang sudah disanggupi tak mungkin ditolehnya, sangat kuat tekatnya untuk menuju hutan Kurusetra, jalan besar yang dilaluinya, sungguh cepat jalanya, pintu gerbang tampak dari kejauhan, puncaknya seperti mutiara berbinar-binar, dari jauh seperti pelangi, bagaikan matahari kembar, sampai di sini dulu kisah perjalanan Arya Sena Wrekudara, sekarang dikisahkan keaadaan di negeri Ngastina.

    ————- Di Negeri Ngastina ————-

    Prabu Suyudana animbali, Resi Druna wus prapteng jro pura, nateng Mandraka sarenge, Dipati Karna tumut, myang Santana andeling westi, pan sami tinimbalan, marang jro kadhatun, Dipati ing Sundusena, Jayajatra miwah sang patih Sangkuni, Bisma myang Dursasana.

    Artinya :

    Prabu Suyudana memanggil, Rsei Druna sudah tiba di dalam istana, bersama Raja Mandaraka, Adipati Karna pun ikut dan sentana/pembesar andalan menumpas bahaya, semua dipanggil, masuk keistana, Adipati dari Sindusena, Jayajatra, Sang Patih Sangkuni, Bisma dan Dursasana.

    Raden Suwirya Kurawa sekti, miwah Rahaden Jayasusena, Raden Rikadurjayane, prapteng ngarsa sang prabu, kang pinusthi mrih jayeng jurit, sor sirnaning Pandhawa, ingkang dadya wuwus, ajwa kongsi Bratayuda, yen kenaa ingapus kramaning aris, sirnaning kang Pandhawa.

    Raden Suwirya Kurawa yang sakti, dan Raden Jayasusena Raden Rikadurjaya, tiba dihadapan Raja, yang disembah agar menang dalam perang, mengalahkan para Pandawa, yang menjadi dalam pembicaraan, jangan sampai terjadi perang Baratayuda, bila dapat ditipu secara halus, kemusnahan sang Pandawa.

    Golong mangkana aturnya sami, Raden Sumarma Suranggakara, anut rempeg samya ture, wau sira sang prabu, Suyudana menggah ing galih, datan pati ngarsakna, ing cidranireki, kagagas kadang nak sanak, lagya eca gunem Wrekudara prapti, dumorojog munggeng pura.

    Artinya :

    Mereka sepakat, Raden Sumarma Suranggakara, menyetujui semua pembicaraan, demikian Sang Prabu, Suyudana dalam hatinya, tidak begitu dirasakan, tentang kecurangannya, memikirkan saudara dekat, ketika sedang asyik bercakap-cakap Wrekudara datang, terburu-buru masuk ke istana.

    Kagyat obah kang samya alinggih, Prabu Duryudana lon ngandika, yayi den kapareng kene, Dyan Wrekudara njujug Dhang Hyang Druna sigra ngabekti, rinangkul jangganira, babo suteng ulun, sira sida ngulatana, tirta ening dadi sucining ngaurip, yen iku ketemua.

    Artinya :

    Terkejutlah semua yang hadir, Prabu Dryudana berkata pelan, adikku marilah kesini, Raden Wrekudara langsung menghadap Dhang Hyang Druna segera meyembah, dirangkul/dipeluk lehernya, wahai anakku, kau jadi pergi mencari, air jernik untuk menyucikan diri, jika itu telah kau temukan.

    Tirta nirmala wisesaning urip, wus kawengku aji kang sampurna, pinunjul ing jagad kabeh, kauban bapa biyung, mulya saking sira nak mami, leluwihing triloka, langgeng ananipun, Arya Sena matur nembah, inggih pundi prenahe kang toya ening, ulun mugi tedahana.

    Artinya :

    Air suci penghidupan, sudah berarti kau mencapai kesempurnaan, menonjol di antara sesama makhluk, dilindungi ayah ibu, mulia darimu anakku, berada dalam triloka, adanya kekal, Arya Sena berkata sembah, ya dimanakah tempatnya sang air jernih, mohon aku ditunjukkan.

    Sayektine yen ulun lampahi, Resi Druna alon wuwusira, adhuh suteng ulun angger, tirta suci nggenipun, pan ing wana Tibrasareki, turuten tuduhingwang, banget parikudu, nucekaken ing badanira, ulatana soring Gadawedaneki, ing wukir Candradimuka.

    Artinya :

    Sungguh akan kutunjukkan, Resi Druna lirih kata-katanya, aduh anakku tercinta, air suci letaknya, berada di hutan Tibrasara, ikutilah petunjukku, harus diperhatikan, itu akan menyucikan dirimu, carilah di bawah Gandawedana, di gunung Candramuka.

    Drungkarana ing wukir-wukir, jroning guwa ing kono nggonira, tirta nirmala yektine, ing nguni-uni durung, ana kang wruh ngone toya di, Arya Bima trustheng tyas, pamit awot santun, mring Druna myang Suyudana, Prabu ing Ngastina, angandika aris, Yayi Mas den prayitna.

    Artinya :

    Carilah di gunung-gunung, di dalam gua gua di situlah letaknya, air suci yang sesungguhnya, di masa lalu belum ada yang tahu tempatnya, Arya Bima gembira hatinya, mohon diri sambil meyembah, kepada Druna dan Suyudana, Prabu di Ngastina, berkata pelan, berhati-hatilah adikku.

    Bok kasasar nggonira ngulati, saking ewuhe panggonanira, Arya Sena lon wuwuse, nora pepeka ingsun, anglakoni tuduh sang Yogi, Bima gya pamit medal, lajeng lampahipun, kang maksih aneng jro pura, samya mesem nateng Mandraka nglingnya ris, kaya paran solahnya.

    Artinya :

    Jangan sampai tersesat dalam usaha mencari, oleh sulitnya letak air suci itu, Arya Sena menjawab pelan, aku tidak akan mengalami kesulitan, dalam menjalankan petunjuk sang guru. Bima segera mohon diri keluar, melanjutkan perjalanan, yang masih tinggal di dalam istana, semua terseyum, Raja Mandaraka berkata lirih, bagaimana caranya ia memperoleh air itu.

    Gunung Candradimuka guwaneki, dene kanggonan reksasa krura, kagir-giri gedhene, pasthi yen lebur tempur, ditya kalih pangawak wukir, tan ana wani ngambah, sadaya gumuyu, ngrasantuk upayanira, sukan-sukan boga andrawina menuhi, kuneng wau kocapa.

    Artinya :

    Gunung Candramuka dan guanya, di situ tinggal raksasa yang sangat menakutkan sangat besar, tentu akan hancur lebur, dua raksasa serupa gunung, tak ada yang berani melawan, semuanya tertawa, merasa berhasil tipu muslihatnya, bersuka ria pesta makan-minum sepuas-puanya, berganti yang dikisahkan.

    ———- Di Gunung Candramuka ———-

    Arya Sena lajeng lampahneki, prapteng wana langkung sukaning tyas, tirta ning pangupayane, saking tuduhing guru, tan anyipta upaya sandi, bebaya geng den ambah, tyasira mung ketung, kacaryan dennya ngupaya, kang tirta ning aneng Candradimuka wukir, marga sengkeng den ambah.

    Artinya :

    Arya Sena terus berjalan, sampai dihutan hatinya sangat gembira, air jernih yang dicari, dari petunjuk gurunya, tak mengira bahwa itu semua muslihat, bahaya besar ditempuhnya, hatinya hanya memperhitungkan, dengan gembira ia mencari, si air jernih di gunung Candramuka, jalan sulit ditempuhnya.

    Jurang pereng runggut kang mandri, sato wana bubar kang katrajang, andanu sungsam lan banteng, amung wanara lutung, neng pang wreksa sangsaya mencit, lampahe Wrekudara, mawa braja lesus, kathah pang wreksa kapapral, para wiku lan ajar manguyu cantrik, kang tapa neng pratapan.

    Artinya :

    Jurang curam dan lebatnya hutan, satwa bercerai berai diterjangnya, kerbau kijang dan banteng, hanya kera dipucuk pohon yang semakin memanjat tinggi, perjalanan Wrekudara, bersama petir dan badai, banyak cabang pohon yang patah, para pendeta dan murid-muridnya yang sedang bertapa di pertapaan.

    Tilar dhepok pra samya angungsi, saking giris myat bjra ruhara, cipta yen gara-garane, Sang Hyang Bayu tumurun, wau Sena lapahireki, pratapan kang kamargan, sri panjrah maweh rum, abra kang ptra mbalasah, kang cepaka angsana lan gandasuli, argulo nagapuspa.

    Artinya ;

    Meninggalkan tempat tinggalnya untuk mengungsi, karena takut kepada petir dan keributan, mengira bahwa menimbulkan gara-gara adalah Sang Hyang Bayu yang turun dari kahyangan, perjalanan Sena tersebut, melewati pertapaan membawa bau harum dimana-mana, bersinarlah daun-daun yang berserakan, bunga cempaka, angsana dan gandasuli, argula dan nagapuspa.

    Kathah mekar myang gambir malati, patraping wiku kang tinilar, tumiling tiling istane, nambrana kang lelaku, bramara reh manguswa sami, anglir karunanira, sih margeng malat kung, ingkang lelampah ngupaya, kang toya ning nuju surya nengahi, gumyus riwe Sang Bima.

    Artinya :

    Banyak yang mekar dan gambir melati, pertapaan yang ditinggalkan, serupa kelihatan condong, menyambut yang sedang melakukan perjalanan, kumbang-kumbang yang hidup, bagaikan bersedih hatinya, memberi jalan sehingga menyebabkan suasana duka, orang yang sedang melakukan perjalanan mencari, si air jernih ketika sang surya sedang di puncak ubun-ubun, keringatnya berlelehan.

    Sangsaya dres bayu braja tarik, Sena Saya sengkut lampahira, surem baskara sunare, saking dres bajra bayu, saking genge garanireki, wreksa sol kaparapal, brungkat, samya rubuh, ajar-ajar kapalajar, kuteteran wiku resi kang udani, methuk atur sesegah.

    Artinya :

    Semakin kencang sang bayu dan petir mendorongnya, Sena semakin cepat melangkah, matahari bersinar suram, oleh deras arus angin dan petir, oleh besarnya dorongan, pohon-pohon tumbang dan patah bersama akarnya, murid-murid padepokan berlarian, bingunglah para pendeta yang melihat, menyambut dengan memberi sajian secukupnya.

    Nanging aturira tan tinolih, Arya Sena pan lajeng kewala, pan maksih njujur lampahe, samana prapta sampun, Candramuka guwaning wukir, sela-sela binubak, binuwangan gupuh, sanget denira ngupaya, tirta maya ingubres datan kapanggih, arya Sena sangsaya.

    Artinya :

    Tetapi kata-katanya tidak diperhatikan, Arya Sena terus berjalan, dengan berjalan lurus, setelah sampai di gua gunung Candramuka, bebatuan disingkirkan, dengan sungguh-sungguh ia mencari, air maya dicari tidak ada, Arya Sena semakin.

    Apan sanget denira ngulati, tirta maya kang guwa binubrah padhang tan ana tandhane, tirta maya nggenipun, jroning guwa den osak-asik, saya lajeng manengah, Sena lampahipun, denira ngulati toya, kang tirta ning kuning kang lagya ngulati, wau wonten winarna.

    Artinya :

    Bersungguh-sungguh dalam mencari, air maya dalam gua yang sudah dirusak sehingga tampak terang benderang tanpa tanda-tanda, tempat air maya, dalam gua diobrak-abrik, semakin menuju ke tengah, Sena berjalan, dalam usaha mencari air, sang air jernih, lain yang diceritakan orang yang sedang mencari itu, ada yang akan diceritakan lagi.

    ———- Rukmuka dan Rukmakala ———-

    Ingkang aneng jroning guwa nenggih, ditya Rukmuka lan Rukmakala, kagyat miyarsa swarane, gugragira kang gunung, pambubrahing guwa kang jawi, gora reh bayu bajra, lawan ngugas mambu, gandane janma manusa, wil Rukmuka kroda kadgadeng ajurit, lan ditya Rukmakala.

    Artinya :

    Yang sedang di dalam gua, raksasa Rukmuka dan Rukmakala, terkejut mendengar suara, kegoncangan gunung, rusaknya gua di bagian luar, riuh terdengar angin dan petir, jelas ada bau sesuatu, bau manusia, raksasa itu bergerak siap bertempur, raksasa Rukmakala.

    Krura angrik nggero nggegirisi, ditya kalih sareng dennya medal, ngegilani ing tandange, lir Hyang Kala tumurun, duk krodarsa ambedhol bumi, nandher nubruk solahnya, prapteng njawi ndulu, manusa sawiji ingkang, mbubrah guwa bramantyanira tan sipi, wong ngendi iki baya.

    Artinya :

    Berteriak dan mengeram menakutkan, kedua raksasa ketika keluar, gerak-geriknya menakutkan, bagaikan san Hyang Kala yang turun dari langit, ketika marah akan mencabut bumi, menyebar dan menerkam geraknya, sesampai di luar melihat, manusia seorang yang, merusak gua kemarahannya meledak-ledak, orang dari manakah gerangan.

    Pan angrusak ing panggonan mami, tan wurung sun tadhah tara masa, ditya kekalih nulyage denira nandher nubruk, Arya Sena kagyat ningali, ditya kalih praptanya, asru dennya muwus heh ditya nedya sikara, praptaningsun nut tuduhe guru mami, ngupaya tirta wuntat.

    Artinya :

    Yeng dengan berani merusak tempat tinggalku, tak pelak ia akan menjadi santapanku, kedua raksasa segera menyambar dan menerkam, Arya Sena terkejut melihatnya, akan kedua raksasa yang baru tiba itu, dengan keras ia berkata, wahai raksasa yang akan menganggu, kedatanganku mengikuti petunjuk guruku, mencari air suci.

    Kidung Pangkur

    Praptamu nedya sikara, nora wurung karasa ngasta mami, ditya kekalih gya naut, Rukmuka Rukmakala, pan sarya nggro Dyan Wrekudara tinubruk, kinerah gulu iringnya, ginilut ing kanan kering.

    Artinya :

    Kedatanganmu akan mengganggu, tak pelak tentu akan menerima tamparanku, kedua raksasa segera menyahut, Rukmuka dan Rukmakala, sambil menggeram mereka menerkam Wrekudara, mengigit leher samping, dikeroyok kanan kiri.

    Panggeh Raden Wrekudara, jangganira kinerah datan gingsir, kinemah ginilut-gilut, jangganira tan pasah, Wrekudara tan tahan denira mambu, wil amis bacin gandanya, krodha kadgadeng ajurit.

    Artinya :

    Raden Wrekudara tetap tangguh, lehernya digigit tidak apa-apa, dikunyah digulat tidak mempan, Wrekudara tidak tahan memcium bau, raksasa yang anyir dan bacin, murka dengan terampil bertempur.

    Dinuwa ditya kalihnya, gya cinandhak astane kanan kering, binanting sela maledhug, sumyur bangke kailhnya, wil Rukmuka lan Rukmakala wus lampus, ruwat ing cintrakanira, wil iku jawata kalih.

    Artinya :

    Ditendang kedua raksasa itu, segera ditangkap dengan kedua tangan, dibanting ke atas batu dan meledak, hancurlah bangkai kedua raksasa, raksasa Rulmuka dan Rukmakala telah tewas, terlepaslah penderitaannya, raksasa itu sebenarnay adalah dua dewa.

    Kena ing papa cintraka, Endra Bayu dinukan Hyang Pramesthi, dadya ditya kalihipun, neng guwa Candramuka, Arya Sena sasirnane mengsahipun, sigra guwa binalengkrah, toya tan ana kaeksi.

    Artinya :

    Terkena kutukan, Endra dan Bayu dimarahi Hyang Pramesthi, menjadi raksasa keduanya, tinggal di gua Candramuka, setelah kedua musuhnya sirna, segera gua itu dirusaknya, namun air tidak juga ditemukan.

    Sadangunira ngupaya, jroning guwa bubrah den obrak-abrik, sayah kesaput ing dalu, ngadeg soring mandhira, giyuh ing tyas denira ngupaya banyu, tan antara Arya Sena, miyarsa swara dumeling.

    Artinya :

    Selama mencari, dalam gua rusak berat diobrak-abrik, leleh menyambut malam, berdiri dibawah pohon beringin, bersedih hatinya mencari sang air, tak berapa lama Arya Sena, mendengar suara yang bergema.

    ———- Hyang Endra dan Hyang Bayu ———-

    Tan katon kang duwe swara, babo putuningsun liwat kaswasih, ngupaya nora ketemu, tan antuk tuduh nyata, ing prenahe kang sira ulati iku, kasangsara solahira, Wrekudara duk miyarsi.

    Artinya ;

    Tak tampak yang bersuara, wahai cucuku yang sangat bersedih, mencari tidak menjumpai, tidak mendapat bimbingan yang nyata, tentang tempat benda yang kaucari itu, sungguh menderita dirimu, Wrekudara ketika mendengarnya.

    Nauri sinten kang swara, dene boten katinggal marang mami, punapa yun ngambil tuwuh, atur kula sumangga, suka pejah tan antuk ngulati banyu, kang swara gumujeng suka, yen sira tambuh ing kami.

    Artinya :

    Menjawab siapa yang bersuara itu, karena tidak kelihatan olehku, apakah ingin membunuhku, mari kupersilahkan, lebih baik mati daripada tidak tidak mendapatkan air yang kucari, suara itu tertawa senang, bila kau pura-pura tidak tahu kepadaku.

    Sira duk mateni buta, iya ingsun padha jawata kalih, keneng cintraka Hyang Guru, temah sira kang ngruwat, ingsun Sang Hyang Endra lan Bathara Bayu, duk ditya Si Rukmakala, lawan Rukmuka ran mami.

    Artinya :

    Kau ketika membunuh raksasa, ya kami inilah dua dewa, yang terkena marah Hyang Guru, akhirnya kau yang melepaskan kesusahanku, kami Sang Hyang Endra dan Bathara Bayu, san Rukmakala dan Rukmaka nama kami.

    Sira angulati toya, pituduhe Druna marang sireki, nyata yen ana satuhu, kang Maosadi tirta, nanging dudu ing kene panggonanipun, sira balia astana, enggone ingkang sayekti.

    Artinya :

    Kau mencari air, petunjuk Druna kepadamu itu, nyata memang benar-benar ada, sang air penghidupan, tetapi bukan disini tempatnya, kau kembalilah ke Astina, yang merupakan tempatnya yang nyata.

    ———- Di Nagara Ngastina ———-

    Wrekudara duk miyarsa, kendel saking wagugen tyasireki, tan antara gya sumebrung, mantuk marang Ngastina, tan winarna ing marga praja wus rawuh, pendhak ing dina samana, nuju Prabu Kurupati.

    Artinya :

    Wrekudra kektika mendengar, berhenti dari kebingungan hatinya, tak lama ia segera pergi, pulang ke negeri Ngastina, tak diceritakan keaadaannya dalam perjalanan, sudah sampai di istana, pada waktu itu, Sang Prabu Kurupati.

    Pepakan lunggyeng pandapa, Resi Druna Bisma lawan Sang Aji, Mandraka Sri Salya Prabu, Sangkuni Kyana Patya, pepak sagung Kurawa sumiweng ngayun, Sindukala lan Sudarma, Suranggakala lan malih.

    Artinya :

    Lengkap duduk diserambi muka, Resi Drna Bisma dan sang Raja, Raja Mandaraka Prabu Salya, Patih Arya Sangkuni, lengkap bala Kurawa menghadap dimuka sang raja, Sindukala dan ayahanda, Suranggakala dan lainnya.

    Kuwirya Rikadurjaya, lawan Jayasusena munggeng ngarsi, kagyat wau praptanipun, Dyan Arya Wrekudara, samya mbagekaken mring kang lagya rawuh, babo ariningsun Sena, antuk karya sun watawis.

    Artinya :

    Kuwirya Rikadurjaya, dan Jayasusena duduk di depan, terkejut melihat kedatangan, Raden Wrekudara, mereka mempersilakan orang yang baru datang itu, wahai adikku Sena, berhasilkah kau menunaikan tugasmu.

    Yayi sun ngempek kewala, praptanira sayekti antuk kardi, Resi Druna lon sumambung, paran ta lakunira, Wrekudara umatur datan kapangguh, nggoning wukir Candramuka, mung ditya kalih kapanggih.

    Artinya :

    Adikku aku hanya ingin bertanya, kedatanganmu tentu membawa hasil, Resi Druna menyambung lirih, bagaimana hasilmu, Wrekudara menjawab bahwa tidak berhasil, di gunung Candramuka, hanya dua raksasa yang ditemuinya.

    Rukmuka lan Rukmakala, sampun sirna kalih kawula banting dening ditya mamrih lampus, sikara mring kawula, jroning guwa ngong balingkrah tak kapangguh, paduka tuduh kang nyata, sampun amindho gaweni.

    Artinya :

    Rukmuka dan Rukmakala, telah kubanting agar lekas berhenti menggangguku, di dalam gua semua kacau balau tetap tidak kutemukan, paduka harus memberi petunjuk yang jelas, sehingga tidak perlu mengulang seperti ini.

    Dhang Hyang Druna ngrangkul sigra, babo sira kang lagi sun ayoni, temen nut tuduhing guru, mengko wus kalampahan, nora mengeng ngantepi pituduhingsun, ing mengko sun warah sira, enggone ingkang sayekti.

    Artinya :

    Dhang Hyang Druna segera memeluk, wahai kau yang sedang kuuji, sungguh mau mengikuti petunjuk gurumu, kkini telah terbukti, tidak menolak dalam melaksanakan perintahku, sekarang kuberi petunjuk, tentang letak yang sebenarnya.

    Iya ing theleng samodra, yen sirestu nggeguru marang mami, manjinga mring samodra gung, Arya Sena turira, sampun menggah manjing theleng samodra gung, wontena nginggiling swarga, myang dasar kasapti bumi.

    Artinya :

    Yaitu di tengah samudera, jika sungguh kau akan berguru kepadaku, masuklah ke dalam samudra luas itu, Arya sena menjawab, jangankan masuk ke dalam lautan, di puncak surga pun, dan di dasar bumi ketujuh.

    Masa ajriha palastra, tuduh paduka yekti, Druna mojar iya kulup, yen iku ketemua, bapa kakinira kang wus padha lampus, besuk uripe neng sira, lan sira punjul ing bumi.

    Artinya :

    Tak mungkin takut, melaksanakan petunjuk paduka yang benar, Druna berkata ya anakku, jika itu kau temuka, orang tua dan kakekmu yang sudah mati, kelak hidupnya ada padamu, dan kau akan menonjol di dunia ini.

    Tan ana aji tumama, sirna kasor kawengku ing sireku, Sri Duryudana sumambung, dhuh Sena ariningwang, kaya paran praptikelira dalanggung, dene laku luwih gawat, prenahe kang tirta ening.

    Artinya :

    Tak ada senjata yang mampu melukai, lebur dan kalah olehmu, Sri Duryudana menyambung, wahai Sena adikki, bagaimana caramu menempuh perjalanan, karena perjalan itu lebih gawat, tentang letak air jernih itu.

    Aja sira kaya bocah, den prayeitna Wrekudara nauri, Heh Kuru pati wak ingsun, srahene ing Jawata, aywa malang tumulih lilakna tuhu, aja nggarantes tyasira, paribara sun basuki.

    Artinya :

    Janganlah kau seperti anak kecil, berhati-hatilah, Wrekudara menjawab, hai Kurupati diriku ini kuserahkan kepada dewata, janganlah kau ragukan, relakan daku, jangan sedih hatimu, tentu aku akan selamat sampai tujuan.

    Ya yayi muga antuka, lakunira pitulunging dewa Di, Arya Sena pamit sampun, mring Druna lang Sang Nata, ing Ngastina wusnya pamit gya sumebut, medal sapraptaning jaba, nedya umantuk rumiyin.

    Artinya :

    Ya adikku semoga berhasil, langkah-langkahmu mendapat restu dari dewa yang agung, Arya Sena mohon diri, kepada Druna dan sang raja, di Ngastina esudah itu ia segera pergi, keluar dari istana, untuk pulang lebih dahulu.

    Matur ingkang raka Ngamarta, kuneng Wrekudara lampahe prapti, ya ta wau kang winuwus, nenggih nagri Ngamarta, saankate Wrekudara kesahipun, dene tan kena ingampah, marmanya dhahat prihatin.

    Artinya :

    Lapor kepada Raja Ngamarta, ganti yang dikisahkan, Wrekudara sudah sampai, itulah yang dikisahkan, tentang negeri Ngamarta, sepeninggal Wrekudara, yang tidak dapat dicegah sehingga menimbulkan kesedihan mendalam.

    Sira Prabu Darmaputra, miwah Dananjaya lan ari kalih saputra sagarwanipun, prihatin tyas sumelang, dadya rembag atur uninga puniku, saking sungkawaning driya, marang Prabu Harimurti.

    Artinya :

    Prabu Darmaputra, dan Sang Dananjaya dengan adiknya berdua beserta anak istrinya, prihatin hatinya khawatir, menjadikan pembicaraan yang menjelaskan hal itu, oleh kesedihan hatinya, kepada sang Prabu Harimurti.

    Mesat caraka Ngamarta, mawi serat ing marga tan winarni, prateng Dwarawati sampun, serat katur sang nata, wus binuka sinuksmeng sajroning kalbu, kagyat nggarijiteng wardaya, sira Prabu Harimurti.

    Artinya :

    Pergilah seorang utusan Ngamarta, membawa surat dalam perjalanan tidak dikisahkan, sudah sampai di Dwarawati, surat itu disampaikan kepada sang raja, sudah dibuka dan diresapkan kedalam hati, sangat terkejut hati sang raja Prabu Harimurti.

    Dhahat tan sakeca ing tyas, gya ngundangi budhal wadya sang aji, wadya lampahe kasusu, ing marga tan winarna, lampahira Sri Kresna Ngamarta rawuh, katur Prabu Yudhistira, gya methuk lawan parari.

    Artinya :

    Sangatlah tidak enak hatinya, segera memerintahkan untuk pergi ke Ngamarta beserta bala pasukan, pasukan itu berangkat tergesa-gesa, di dalam perjalanan tidak dikisahkan, sang Harimurti sudah sampai di Ngamarta, menghadap sang Ydhistira, lekas menyambut bersama adik-adiknya.

    Prapteng pura tata lenggah, Dananjaya lan kang rayi ngabekti, Prabu Darmaputra Yudhistira matur, Sena sesolahira, purwa madya wasana pan sampun katur, miyarsa ngungun ing driya, sira Prabu Harimurti.

    Artinya :

    Masuk istana dipersilahkan duduk, Dananjaya dan adiknya menghaturkan sembah, Prabu Darmaputra Yudhistira berkata, tentang Sena dan tingkahnya, sejak awal tengah dan akhir semua disampaikan, yang mendengarkannya heran dalam hati, yaitu sang Prabu Harimurti.

    Wasana andikanira, yayi Prabu sampun sungkaweng galih, solahe arineriku, Wrekudara denira, ngruruh tirta ening sayekti ingapus, tingkahe Kurawa cidra, pasrahna Jawata Di.

    Artinya :

    Kemudian katanya, Dinda Prabu janganlah bersedih hati, tingkah adik kita, Wrekudara dalam usahanya mencari air suci jernih sesungguhnya ditipu, oleh para Kurawa yang curang, serahkanlah saja kepada dewata yang agung.

    Wong nedya puruhita, ujar becik upama den lampahi, santosa ing bathara gung, ingkang nedya bencana, boten wande manggih wewales ing pungkur, matur Prabu Yudhistira, mila kula Jeng Kaka Ji.

    Artinya :

    Orang yang ingin mengabdi, kata-kata yang baik itu harus dijalankan, yakin kepada dewata yang agung, yang akan menjatuhkan bencana, kelak tentu akan mendapatkan balasan, berkata prabu Yudhistira, maka saya ini kakanda.

    Nunten ngaturi uninga, mring paduka pun Sena lampahneki, yen tan nunten praptanipun, kula lan rayi tuwan, Madukara ngulati ing purugipun, tan liyan mung nyuwun pitedah, paduka den lampahi.

    Artinya :

    Kemudian segera memberi kabar, kepada paduka tentang tingkah Sena itu, jika tidak lekas datang, saya dan adik yang lain dari Madukara akan mencari ke mana perginya, tak lain hanya minta petunjuk paduka untuk kami laksanakan.

    Lagyega imbal wacana, pan kasaru Sena praptanireki, prabu kalih sigra ngrangkul, langkung trusthaning driya, Dananjaya lan Nangkula Sadewaku, Dyan Pancawala Sumbadra, aretna Drupadi Srikandi.

    Artinya :

    Ketika sedang asyik berbincang-bincang, tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan Sena, dua raja itu segera memeluk Sena, hati mereka sangat gembira, Dananjaya dan Nakula Sadewa, Raden Pancawala dan Sembadra, Retna Drupadi dengan Srkandi.

    Putra ri ngabekti samya, angandika sang prabu Harimurti, inggih ndaweg yayi prabu, sami suka bujana, sigra Arya Wrekudara aturipun ywa susah nganggo bujana, pan ingsun nora ngenteni.

    Artinya :

    Putra dan adik-adik mengabdi mengahturkan sembah semuanya, berkata sang prabu Harimurti, mari kita berpesta dan bersenang-senang, segera Arya Wrekudara menjawab, tak usah berpesta pora, aku tidak akan menantikannya.

    Marang wong suka bujana, praptaningsun mung nedya tur udani, yen wis pamit bali ingsun, miwah mring sira Kresna, pan kapareng prapta manira angung wruh, arsa mring theleng samodra, ngupaya sinom tirta di.

    Artinya :

    Kepada orang yang suka berpesta, kedatanganku hanya ingin memberi kabar, nahwa aku sudah mohon diri kepada kalian, dan kepadamu Kresna, kedanganku hanya ingin memberi tahu, aku akan ke tengah samudera, mencari air suci.

    Kidung Sinom

    Pituduhe Dhang Hyang Druna, angulati Banyu Urip, nggone neng theleng samodra, iku arsa sun ulati, matur kang para ari dhuh kakangmas sampun-sampun, punika dede lampah, tan pantes dipun lampahi, duk miyarsa njethung Prabu Ydhistira.

    Artinya :

    Petunjuk Dhang Hyang Druna, mencari air penghidupan, tempatnya di pusat samudera, itu akan kucari, berkatalah adik-adik Sena, duh kakanda jangan lakukan, itu bukan tugas, tidak patut dilaksanakan, mendengar itu diamlah Prabu Yudhistira.

    Wusana alon turira, mring raka Sri Harimurti, paran ing karsa paduka, pun Sena aturireki, tan kenging den palangi, Sri Kresna kendel tan muwus, langkung pangungunira, bunek ing tyas tan nauri, ing ature kang rayi Sri Yudhistira.

    Artinya :

    Kemudian katanya pelan, kepada kakanda Sri Harimurti, bagaimana kehendak paduka, demikian kehendak Sena, tidak dapat dihalang-halangi, Sri Kresna diam tak dapat berkata-kata, sangat heran dia, bingung dalam hatinya tak dapat menjawab pertanyaan sang Yudhistira.

    Sigra Prabu Ydhistira Darmaputra, tumengkul marang kang rayi, Parta Nangkula Sadewa nungkemi pada anangis, Dyan Pancawala tuwin, Sumbadra Srikandi muwun, samya nggubel aturnya, miwah Prabu Harimurti, andrewili pitutur mring Arya Sena.

    Artinya :

    Segera Sang Prabu Yudhistira, menoleh kepda adinda, Parta Nakula dan Sdewa menyembah dan mencium kaki sambil menangis, Raden Pancawala dan, Sumbadra Srikandi menangis pula, semua meminta dengan paksa, dan Prabu Harimurti masih memberikan nasihat kepada Arya Sena.

    Sena tan kena ingampah, tan keguh ginubel tangis, Dananjaya nyepeng asta, ari kalih suku kalih, [an sarwi lara nangis, Sri Kresna tansah pitutur, Srikandi lan Sumbadra, kang samya nggubel nangisi, kinipatken sadaya sami kaplesat.

    Artinya :

    Sena tidak dapat ditahan-tahan lagi, tak goyah dikungkung oleh tangis, Dananjaya memegangi tangan, dua adik lain memegangi kedua kakinya, dan sambil menangis mengiba-iba, Sri Kresna selalu menasihati, Srikandi dan sumbadra, yang masih tetap menangis dan menghalang-halangi, dikibaskan semua terlempar.

    Meksa mberot Wrekudara, datan kena den gujengi, ngitar lampahe wus tebah, kadya tinilar ngemasi, Parta lan ari kalih, arsa sumusul tutu pungkur, ajrih pangampihira, kang raka Sri Harimurti, dadya kendel sadaya wayang-wuyungan.

    Artinya :

    Wrekudara tak dapat dipegangi, cepat langkahnya sudah jauh, yang tinggal bersedih bagaikan mati, Parta dan kedua adiknya, akan menyusul mengikuti di belakangnya, takut menemui rintangan atas kaknya, Sri Harimurti, menjadi terdiam semua kebingungan.

    Saenggon-enggon karuna, sagung santana jalwestri, satriya ngadhep neng ngarsa, sira prabu Harimurti, tan pegat mituturi, kang rayi pra samya ndheku, dadya Sri Padmanaba, makuwon aneng jro puri, kawuwusa wau kang adreng ing lampah.

    Artinya :

    Di setiap tempat terdengar tangisan, semua sentana lelaki perempuan, satria menghadap di muka, Sang Prabu Harimurti, tak henti-hentinya menasihati, adik-adik semua terdiam dan khidmad, jadilah sang Padmanaba, tinggal di dalam istana, dikisahkanlah yang sedang dalam perjalanan.

    ———- Keindahan Pemandangan Yang Terlihat ———-

    Lajeng dhedher Arya Sena, wus tebih manjing wanadri, tan kestri durgameng hawan, tan ana bebaya kesthi, sagung wong tepis iring, pra samya gawok angrungu, lampahe Arya Bima, lir naga krura ngajrihi, anrang baya amrih tuduhing ngagesang.

    Artinya :

    Semakin jauh perjalanan Arya Sena, sudah masuk kedalam hutan, tak terpikir bahaya diperjalanan, tak ada bahaya dilihatnya, orang-orang yang ditinggal di perbatasan, semua heran mendengarnya, perjalanan Arya Sena, bagaikan naga yang sangat menakutkan, menyerang bahaya agar tercapai tujuan hidupnya.

    Kakayon katut maruta, pang kaprapal ngangin-angin, lir ngatag kang sekar mekar, samirana awor riris awor riris, panjrahing sarwa sari, kang riris pan marbuk arum, kumuning jangga sumyar, angsana pudhak kasilir, kinon katon lir wentis kasisan sinjang.

    Artinya :

    Pepohonan terhanyut oleh angin, cabang patah oleh angin, bagaikan memaksa bunga-bunga untuk mekar, angin bertiup tersebar berbunga, gerimis dengan semerbak harum, tampak kuning dengan leher yang bersinar, bunga pudak bergoyang-goyong, tampak bagaikan betis tertiup kain kebaya.

    Seje tibra ganing driya, sahira saking nagari, cunggeren ret mawurahan, lir napa marang sang Branti, merak munya neng wuri, barung lawan peksi cucur, lir ngaturi wangsula, kidang wangsul saking ngarsi, kadya srune napa sangsayeng wardaya.

    Artinya :

    Lain kesedihan yang dirasakan, kepergian dari negerinya, babi hutan gelisah, bagaikan bertanya kepada Arya Sena, merak bersuara dibelakangnya, bersahutan dengan burung cucur, seolah-olah mengajak pulang, kijang pulang dari hadapannya, bagaikan memendam kesedian yang dalam.

    Resres munya asauran, yayah kadya anauri, bebeluk myang dares munya, anamber-namber wiyati, kadya ngadhangi margi, wangsula ri sang Malat Kung, kungkang neng rong kalintang, amarah upaya sandi, yen dursila tanduking karti sampeka.

    Artinya :

    Capung bersuara bersahut-sahutan, seolah-olah seperti menjawab, burung hantu dan burung dares bersuara, menyambar-nyambar di udara, bagaikan mengahalangi jalan, kembalilah Sang Malat Kung, kodok di dalam liangnya, memohon dengan sangat bahwa itu hanya kecurangan, merupakan ulah orang-orang yang berbuat jahat.

    Diwasaning diwangkara, titi sunya tengah wengi, gedasih munya sauran, musthikeng ganeya muni, mangun anggeng saliring, kadya sung warah mring lampus, upaya Dhang Hyang Druna, tan tuhu amrih basuki, mawa kamandaka durgamaning hawan.

    Artinya :

    Pada waktu itu sang matahari, tidak muncul karena tengah malam, burung kedasih bersuara bersahutan, mustika ganeya pun bernyanyi, menciptakan dengung di sekitarnya, seolah-olah menyarankan akan mati, perintah Dhang Hyang Druna, tidak menuju keselamatan, dengan kata-kata yang penuh bahaya dalam perjalanan.

    Suwenda sekaring asta, ri ana Sang Hyang Bayeki, anut ujunging aldaka, denira lumampah aris, purwa ima rekteki, sirat-sirat wus kadulu, wismane Sang Haruna, manitih ing jalanidhi, keksi praba Sang Maharsi Dipaningrat.

    Artinya :

    Kuku hiasan jari-jarinya, yang diperoleh dari Hyang Bayu, menurut ujung gunung, langkahnya pelan-pelan, dikawal awan putih, dari jauh kelihatan, tempat tinggal sang Dewa Haruna (Dewa Matahari), berjalan di atas air laut, tampak sorot Sang Maharesi Dipaningrat.

    Ana ri kang pasi wijah, anyengak-nyengak sru muni, sasmita kinen wangsula, mring sang kasangsayeng ragi, sata wana munyajrit, wewarah mring Sang Moneng Kung, angambah wanapringga, kungas tepining udadi, alun adres gumulung menempuh parang.

    Artinya :

    Ada seekar burung yang tampak, bersuara keras dan bernyanyi-nyanyi, memberi isyarat supaya lekas kembali, kepada yang menderita dalam perjalanan, hewan-hewan hutan menjerit-jerit, memberi isyarat kepada yang sedang berduka, melewati hutan lebat berbahaya, tampak tepi laut, ombak bergulung-gulung menerpa karang.

    Sumyak lir suraking aprang, mrepek sangsaya kaeksi, karang munggul kawistara, dan awun-awun nawengi, ana kang kadi esthi, karang mengo liman ajrum, Wrekudara wus prapta, ngadeg neng tepining tasik, mangu-mangu mulat tepining udaya.

    Artinya :

    Riuh bagaikan sorak-sorai peperangan semakin dekat semakin tampak, karang menyembul, dan ombak-ombak itu melindungi, ada yang bagaikan gajah, yang menoleh dan emndekam, Wrekudara sudah sampai, berdiri di tepi laut, ragu-ragu menatap tepi laut itu.

    Kang ombak ngembang galagah, panduking parang mangsuli, lir nambrama ingkang prapta, ngaturi wangsulireki, palimarma mring kangkang Prapti, yen ingapus lampahe manjing samodro.

    Artinya :

    Sang ombak bagaikan bunga gelagah, menggempur batu karang, bagaikan menyambut yang baru datang, menyarankan untuk kembali saja, topan datang juga, suaranya riuh menggelegar, ombak bergulung-gulung, tampak kasihan kepada yang baru datang, bahwa ia ditipu agar masuk ke dalam samudera.

    Druna ujar ngamandaka, tuduhira tan sayekti tan sayekti, Sena yen wangsula merang ing guru Sang Maha Resi, suka matiyeng tasik, mangkana wau andulu, palwa awarna-warna, kumerab ing jalanidhi, ting karetap kang layar pating samburat.

    Artinya :

    Druna memberi petunjuk yang sesat, petunjuknya tidak benar, Sena tidak ingin pulang menentang sang Maharesi, lebih baik mati di tepi laut, demikianlah ia melihat, berbagai bentuk perahu, berbondong-bondong di atas lautan, bercahaya dengan layar yang berkembang.

    Ting salebar lampahira, kang palwa sawiji-wiji, nanging tan ana kang misah, dulur maksih lampah tunggil, nangkoda samya grami, samya ngetan purugipun, dangu Sang Arya Sena, miyat kang palwa lumaris, ngunandika paran mengko lakuningwang.

    Artinya :

    Menyebar laju perjalanannya, setiap perahu satu persatu, tapi tidak ada yang memisahkan diri, bersaudara masih menyatu, nakoda kapal semua mengangkut dagangan, berlayar ke timur, lama Arya Sena, melihat kapal-kapal itu lewat, berkata dalam hati bagaimana caraku nanti.

    Manjing jro theleng samodra, angupaya Banyu Urip, mangkana ingsun nora bisa, umanjing sajroning warih, kayaa si Pamadi, bisa manjing jroning banyu, silulup katon padhang, tan pae dharatan sami, Wrekudara dangu dennya ngunandika.

    Artinya :

    Masuk ke dasar samudera, mencari air penghidupan, padahal aku tidak mampu masuk ke dalam air, seandainya seperti Pamadi, mampu masuk kedalam air, menyelam tampak terang, tak berbeda dengan di atas daratan, lama Wrekudara berkata-kata dalam hati.

    Wasana mupus ing driya, rehning atur wus nanggupi, marang Sang Pandhita Druna, tuwin Prabu Kurupati, dennya ngupaya nenggeh, ingkang Tirta Kamandanu, manjing theleng samodra, Sena tyasira tan gingsir, lara pati pan wus karsaning Jawata.

    Artinya :

    Akhirnya ia berpasrah diri, karena sudah menyatakan kesanggupan, kepada Sang Pandhita Druna, dan Prabu Kurupati, dalam mencari itu, Sang Tirta Kamandanu, masuk kedasar samudera, hati Sena tidak merasa takut, sakit dan mati memang sudah kehendak Dewata yang agung.

    Lengleng mulat ing udaya, rencakaning tyas kalingling, nglanggut datan pawatesan, Sang Moneng lir tugu manik, alun geng nggegirisi, langgeng agolong gumulung, toya mundur angalang, kekisik wingkisi, wedinira lir kekisi sekar mekar.

    Artinya :

    Dengan suka cita ia memandang laut, kesedihan hatinya sudah terkikis, menerawang tanpa batas, Sang Moneng bagaikan tugu batu, ombak besar menakutkan, terus menerus bergulung-gulung, air mundur menhalangi, tampak tanah pantai menyembul, ketakutannya bagaikan gulungan bunga yang mekar.

    Sangsangira lembak-lembek, lircemara uwal saking, ukeling dyah sinjang lukar, tan wus ucapen ing tulis, isen-isen jaladri pira-pira langenipun, raras rume jro toya, panjang yen winarna kawi, kurang papan maksih luwih kang carita.

    Artinya :

    Rambunya mengombak-ombak, bagaikan rambut sambunganyang terlepas dari ikatannya, tak dapat dikatan dalam tulisan, isi laut beberapa keindahan yang tampak, keindahan dalam air itu, panjang bila diceritakan.

    ———- Wrekudara Mencebur ke Laut ———-

    Wau Arya Wrekudara, andangu dennya ningali, langen warnaning samodra, sawusnya mangkana nuli, amusthi tyasireki, ing bebaya tan kaentung, kalamun tan manggiha,ingkang Tirta Maya Ening, Tirta Kamandanu neng theleng samodra.

    Artinya :

    Maka sang Arya Wrekudara, lama menatap, keindahan isi laut, sesudah itu lalu memusatkan perhatiannya, tidak lagi memikirkan marabahaya, jika tidak menemukan, si air maya jernih, tirta kamandanu di dasar samudera.

    Wirang yen mantuka aran, suka matiyeng jaladri, tan liyan mung pituduhira, mung guru ingkang kaesthi, wusnya mangkana nuli, Wrekudara sigra cancut, gumregut tandangira, denira manjing jaladri, datan mundur pinethuk ngalun lampahnya.

    Artinya :

    Malu jika pulang tanpa hasil, lebih baik mati di laut tak lain hanya petunjuknya, sang guru yang dipikirkan, sesudah itu lalu, Wrekudara segara bersikap diri dengan semangat yang menyala-nyala mencebur ke laut, tak akan mundur menghadapi ombak samudera.

    Kidung Durma

    Neng samodra wiraganira legawa, banyu sumaput wentis, melek angganira, alun pan sumaburat, sumembur muka nampeki, migeg ring angga, waket jangga kang warih.

    Artinya :

    Dalam samudera kegembiraannya tampak, air membasahi kaki, memyentuh tubuhnya, ombak menggelombang, menampar wajahnya, bergerak-gerak menerpa badan, menyentuh lehernya.

    Sena emut kang aji Jalasengara, amrih piyaking warih, wusnya matek sigra, lampah meksa manengah, tan etang priganing warih, kuneng Sng Bima, ya ta wonten winarni.

    Artinya :

    Sena teringat ilmunya Jalasengara, agar air menyibak, setelah ilmu itu diucapkan, terus berjalan ke tengah, tak memperhitungkan bahaya dalam air, tentang Sang Wrekudara, lain lagi cerita di sini.

    Kang naga geng kang mangsa ylam samodra, wisanya luwih mandi, kroda dennya miyat, sigra ngambang lumarap, gengnya saprabata siwi, galak kumelap muka ngajrihi.

    Artinya :

    Ada naga besar yang memangsa ikan di laut, berbisa sangat mematikan, bergerak mendekati apa yang dilihatnya, segera mengambang di air, sbesar gunung anakan, wajahnya tampak liar dan ganas, mulut menganga menakutkan.

    Lir kinebur samodra molah prakempa, Sena kagyat ningali, ngunandikeng driya, iki bebaya prapta naga geg krua ngajrihi, mangap kadya guwa, siyung mingis kumilat, semembur wisa lir riris, manaut sigra, mulet kadya ginodhi.

    Artinya :

    Bagaikan dikebur keadaan air laut itu, bergoyang-goyang bagaikan gempa, Sena terkejut melihatnya, berkata dalam hati, bahaya yang datang berupa naga besar menakutkan, menganga bagaikan gua, taringnya tampak tajam bercahaya, menyemburkan bisa bagaikan hujan, menerkam segera, melilit bagaikan membalutnya.

    Pan larangkus badan pinulet ing naga, Sena angres ing galih, naga wisanira, tumempek ngangganira, kewran wus anyipta mati, saya pinoleh, kang naga mobat-mabit.

    Artinya :

    Sesudah badannya dililit oleh tubuh ukar naga itu, Sena merasa kecut hatinya, melekat di tubuhnya, kebingungan ia mengira akan cepat mati, semakin meronta sang naga semakin kuat lilitannya.

    Sarirane Sena kagubet sadaya, mung janggane kang maksih, kang naga sru molah, ningseti panggubetnya, wonten palwa dagang prapti, giris umiyat, kang palwa nimpang lebih.

    Artinya :

    Tubuh Sena dililit semua, hanya tinggal lehernya masih tampak, sang naga semakin ganas, mengencangkan lilitannya, ada kapal dagang yang medekat, lekas pergi menjauh, menghindari.

    Lir sinapon palwa narka angin salah, wau ta kang ginodhi, sayah Arya Bima, krodha emut anulya, cinubles kanaka aglis, kang munggeng angga, pasah ludira mijil.

    Artinya :

    Bagaikan disapu awak perahu itu mengira ada angin salah tiup, sedangkan saja Sena masih dililit naga, lelah tak kuasa meronta kemudian ia teringat, segera menikamkan kukunya, tepat di tubuh naga itu, kemudian darah pun memancar.

    Kuku Pancanaka manjing badan naga, tatas sarpa ngemasi, rah mijil marawan, abangtoyeng samodra, sapandeleng kanan kering, toya awor rah, naga geng wus ngemasi.

    Artinya :

    Kuku Pancanaka menancap di badan naga,langsung naga itu mati, darah keluar dengan deras, air laut memerah, tampak sepintas di kanan kiri, air bercampur darah, naga besar sudah mati.

    ———- Diketahui Sang Marbudyengrat Dewa Ruci ———-

    Sirna dening Sena sadaya pan suka, saisining jaladri, wau kawuwusa, Ri sang Murwengparasdya, wruh lakuning Kang Kaswasih, Sang Amurwengrat, praptane Sang Amamrih.

    Artinya :

    Naga Mati oleh Sena, seisi laut itu gembira, diceritakanlah, Ri Sang Paramengparasdya, melihat perjalanan sang Kaswasih, Sang Amurwengrat, kedatangan Sang Amamrih.

    Dinuta tan uninga jatining lampah, kang Tirta Marta Ening, apan tanpa arah, Tirta kang wruh ing Tirta, Suksma sinuksma wawingit, tangeh manggiha, yen tan nugraha yekti.

    Artinya :

    Di utus tidak mengetahui hakekat tugasnya, Sang Air Penghidupan Jernih, yang tanpa arah, air yang melihat air, suksma berjiwa penuh rahasia, tak mungkin ditemukan, bila tidak mendapat anugerah yang sebenarnya.

    ———- Di Negara Ngamarta ———-

    Kuneng wau kocapa, Nata Pandhawa, kang samya tyas prihatin, sangsaya kagagas, nenggih mring kadangira, arsa nusula prasami, aywa sulaya, yen nemahana pati.

    Artinya :

    Syahdan diceritakan, Raja Pandawa yang bersedih hatinya, semakin dipikirkan perihal keadaan Saudaranya, semua ingin menyusul, jangan sampai menemui kesulitan.

    Samya nggubel nenuwun kang pangandika, mring Prabu Harimurti, samya tinangisan, matur narendra Kresna yayi Prabu yayi prihatin, pan kadang tuwan, boten tumekeng pati.

    Artinya :

    Semua memohon dengan penuh iba, kepada Prabu Harimurti, semua menangis, berkatalah Sang Kresna, bahwa adinda tidak sampai meninggal dunia.

    Malah manggih kanugrahaning Jawata, benjing praptane suci, angsal sih kamulyan, ing Hyang Suksma Kawekas, winenang alintu diri, raga Bathara putus ing tinggal ening.

    Artinya :

    Bahkan mendapat pahala dari Dewata, nanti akan datang dengan kesucian, mendapatkan cinta kemuliaan, dari Hyang Suksma Kawekas, diizinkan berganti diri, menjadi Batara yang berhasil menatap dengan hening.

    Mila sampun sungkaweng tyas yayi nata, enggar tyasira sami, sirna susahira, dennya wau miyarsa, pangandika kang sayekti, Nerendra Kresna, kamulyaning kang rayi.

    Artinya :

    Maka janganlah bersdih hati, gembirakanlah hati kalian, hilangkan cemas, setelah mendengar penjelasan demikian, dari Sang Prabu Kresna, akan keberhasilan adindanya.

    —- Sang Wrekudara Berjumpa Dengan Sang Marbudyengrat Dewa Ruci —-

    Ya ta malih wuwusen Sang Wrekudara, kang maksih neng jaladri, sampun pinanggihan, awarni Dewa Bajang, paparan Sang Dewa Ruci, lir lare dolan, neng udaya jaladri.

    Artinya :

    Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera, sudah bertemu dengan Dewa berambut panjang, bernama Dewa Ruci, seperti anak kecil bermain-main di atas air laut.

    Angandika Sena apa karyanira, apa sedyanireki, umanjing samodra, liwat sepi kewala, tan ana ingkang binukti, myang sarwa boga, miwah busana sepi.

    Artinya :

    Berkata Sena apa kerjamu, apa tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada, tak ada yang dimakan, tiadak ada makanan, dan tidak ada pakaian.

    Amung ana godhong aking yen ana kaleyang, tiba ing ngarsa mami, iku kang sun pangan, yen nora natan mangan, nggarjita tyasnya miyarsi, Sang Wrekudara, ngungun dennya ninggali.

    Artinya :

    Hanya ada daun kering yang tertiup angin, jatuh di depanku, itu yang saya makan, jika tidak ada tentu tidak makan, Sang Wrekudara, heran melihat dan mendengarnya.

    Dewa bajang neng samodra tanpa rowang, cilik amenthik-menthik, iki ta wong apa, mung sabayi gengira, bisa lumakyeng jaladri, ladak kumethak, tanpa rowang pribadi.

    Artinya :

    Dewa berambut panjang di laut tanpa kawan, kecil sekali, siapakah dia, hanya sebesar bayi, dapat berjalan di atas air, sombong sekali, tanpa kawan hanya sendirian.

    Angling malih heh ta Wrekudara sigra, prapta ing kene iki, akeb Pancabaya, yen nora etoh pejah, sayekti tan prapta ugi, ing kene mapan, saklir sarwa mamring.

    Artinya :

    Berkata lagi wahai Wrekudara, segera datang ke sini, banyak rintangannya, jika tidak mati-matian tentu tak akan dapat sampai di tempat ini, segalanya serba sepi.

    Nora urub lan ciptamu paripeksa, sira tan ngeman pati, sabda kaluhuran, kene masa anaa, Sena kewran tyasireki, sesaurira, dening tan wruh ing gati.

    Artinya :

    Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati, memang benar, di sini tidak mungkin ditemukan, Sena bingung hatinya, jawabnya, karena tidak tahu maksudnya.

    Dadya Wrekudara alon aturira, masa borong Sang Yogi, dewa Ruci mojar, lah iya sira uga bebete Sang Hyang Pramenthi, Hyang Girinata, turune sira saking.

    Artinya :

    Sehingga Wrekudara menjawab pelan, terserah kepada guru, Dewa Ruci berkata, kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari.

    Sang Hyang Brama uwite kang para nata, pan ramanira ugi, turun saking Brama, mencarken para raja, ibunira Dewi Kunthi, kang duwe tedhak, iya Hyang Wisnu Murti.

    Artinya :

    Sang Hyang Brama asal para raja, ayahmu pun, keturunan dari Brama, menyebarkan pra raja, Ibumu Dewi Kunti, yang memiliki keturunan, yaitu Sang Hyang Wisnu Murti.

    Mung patutan telu lan bapakira, Yudistira pangarsi, panenggake sira, panengah Dananjaya, kang loro patutan Madrim, genep Pandhawa, praptamu kene ugi.

    Artinya :

    Hanya berputra tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai panengah/ketiga adalah Dananjaya, yang dua anak dari keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa, kedatanganmu di sini pun.

    Iya Dhang Hyang Druna akon ngulatana, Toya Rip kang tirta ning, iku gurunira, pituduh marang sira, yeku kang sira lakoni, mula wong tapa, angel pratingkah urip.

    Artinya :

    Juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari, Air Penghidupan berupa air jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya.

    Aywa lunga yen durung wruh kang pinaran, lan aja mangan ugi, lamun durung wruha, rasaning kang pinangan, aja anganggo ta ugi, yen durung wruha, arane busaneki.

    Artinya :

    Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, dan jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan, janganlah berpakaian, bila belum tahu, nama pakaianmu.

    Weruhira tetaken bisane iya, lawan tetiron ugi, dadi lan tumandang, mangkono ing ngagesang, ana jugul saking wukir, arsa tuku mas, mring kemasan den wehi.

    Artinya :

    Kau bisa tahu dari bertanya, dan dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang bodoh dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi.

    Lancang kuning den anggep kancana mulya, mangkono wong ngabekti, yen durung waskitha, prenahe kang sinembah, Wrekudara duk miyarsi, ndheku nor raga, dene Sang Wiku sidik.

    Artinya :

    Kertas kuning dikira emas mulia, demikian pula orang berguru, bila belum paham, akan tempat yang harus disembah, Wrekudara ketika mendengar itu, terduduk merendahkan diri, sedangkan sang wiku cermat.

    Toya piyak dadya sila Wrekudara, umatur meminta sih, anuwun jinatyan, pukulun sinten tuwan, dene neng ngriki pribadi, Sang Marbudyengrat, angling Sang Dewa Ruci.

    Artinya :

    Air menyibak menjadi tempat duduk bagi Wrekudara, berkata meminta kasih, mohon diyakini, siapakah tuanku sebenarnya, mengapa di sini sendirian, Sang Marbudyengrat, berkatalah Sang Dewa Ruci.

    Sena matur pukulun yen makatena, kawula anuwun sih, saking tan uninga, puruhitaning badan, sasat sato wana inggih, tan mantra-mantra, waspadeng badan suci.

    Artinya :

    Sena berkata jika demikian, saya ingin meminta kasih, dan petunjuk karena tidak tahu, pengabdian diri ini sama seperti hewan hutan, tidak seberapa, waspada kepada badan yang suci.

    Langkung muda punggung cinacad ing jagad, kesi-esi ing bumi, angganing curiga, ulun datanpa wrangka, wacana kang tanpa siring, ya ta ngandika, Manis Sang Dewa Ruci.

    Artinya :

    Lebih bodoh tolol dan penuh kekurangan di dunia, ditertawakan di mana-mana, bagaikan tubuh keris yang tanpa kerangka, perkataan tanpa batas, berkatalah dengan manis Sang Dewa Ruci.

    … Wrekudara Masuk Dalam Tubuh Menerima Ajaran Tentang Kenyataan …

    Kidung Dhandhanggula

    Lah ta mara Wrekudara aglis, umanjinga guwa garbaningwang, kagyat miyarsa wuwuse, Wrekudara gumuyu, sarwi ngguguk aturireki, dene paduka bajang, kawula geng luhur, nglangkungi saking birawa, saking pundi margane kawula manjing jenthik masa sedhenga.

    Artinya :

    Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku, terkejut mendengar kata-katanya, Wrekudara tertawa, dengan terbahak-bahak, katanya, tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin dapat masuk.

    Dewa Ruci mesem ngandikaris, gedhe endi sira lawan jagad, kabeh iki saisine, alas myang gunungipun, samodra lan isine sami, tan sesak lumebuwa, ing jro garbaningsun, Wrekudara duk miyarsa, esmu ajrih kumel sandika turneki, mengleng Sang Ruci Dewa.

    Artinya :

    Dewa Rcuci terseyum dan berkata lirih, besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku, Wrekudara setelah mendengar, agak takut menyatakan mau, berpalinglah Sang Dewa Ruci.

    Iki dalan talingan ngong kering, Wrekudara sigra manjing karna, wus prapteng ing jro garbane, andulu samodra gung, tnapa tepi nglangut lumaris, ngliyek adoh katingal, Dewa Ruci nguwuh, heh apa katon ing sira, dyan umatur Sena pan inggih atebih, tan wonten katingalan.

    Artinya :

    Di dalam telingaku yang kiri, Wrekudara segera masuk telinga, sudah sampai di dalam tubuhnya, melihat laut luas, tanpa tepi jauh sekali ia berjalan, tampak jauh terlihat, Dewa Ruci berteriak, hai apa yang kau lihat, Arya Sena berkata bahwa tampah jauh, tak ada yang tampak.

    Awang-awang kang kula lampahi, uwung-uwung tebih tan kantenan, ulun saparan-parane, tan mulat ing lor kidul, wetan kulon boten udani, ngandhap nginggil myang ngarsa, kalawan ing pungkur, kawula datan uninga, langkung bingung Sang Dewa Ruci lingnyaris, aywa maras tyasira.

    Artinya :

    Langit luas yang kutempuh, langit yang sangat luas, aku pergi ke mana-mana, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah atas dan depan, serta di belakang, aku tidak tahu, bingung sekali sang Dewa Ruci berkata pelan, jangan taku tenangkan dirimu.

    Byar katingal ngadhep Dewa Ruci, Wrekudara Sang Wiku kawangwang, umancur katon cahyane, nulya wruh ing lor kidul, wetan kulon sampun udani, nginggil miwah ing ngadhap, pan sampun kadulu, kawan umiyat baskara, eca tyase miwah Sang Wiku kaeksi, aneng jagad walikan.

    Artinya :

    Tiba-tiba terang tampaklah Dewa Ruci, Wrekudara Sang Wiku terlihat, memancarkan sinar, kemudian tahu utara selatan, timur barat sudah tahu, di atas dan dibawah, juga sudah diketahui, kemudian terlihat matahari, nyaman rasa hati melihat Sang Wiku, di balik dunia ini.

    Dewa Ruci suksma lingiraris, aywa lumaku andedulua, apa katon ing dheweke, Wrekudara umatur, wonten warna kawan prakawis, aktingal ing kawula, sadayane wau, sampun boten katingalan, amung kawan prakawis ingkang kaeksi, cemeng bang kuning pethak.

    Artinya :

    Dewa Ruci berkata lirih, jangan berjalan lihat-lihatlah, apa yang tampak olehmu, Wrekudara menjawab, ada empat macam benda yang tampak olehku, semua itu, sudah tampak, hanya empat warna yang dapat kulihat, hitam merah kuning dan putih.

    Sang Dewa Ruci ngandika malih, ingkang dhingin sira anon cahya, gumawang tan wruh arane, Pancamaya puniku, sejatine ing tyasireki, pangarsane sarira, tegese tyas iku, ingaranan muka sipat, kang anuntun marang sipat kang linuwih, kang sejatining sipat.

    Artinya :

    Sang Dewa Ruci berkata lagi, yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan sifat itu sendiri.

    Mangka tinulak aywa lumaris, awasena rupa aja samar, kawasaning tyas empane, tingaling tyas puniku, anengeri marang sajati, eca tyase Sang sena, amiyarsa wuwus, lagya medhem tyas sumringah, ene ingkang abang ireng kuning putih iku durgamaning tyas.

    Artinya :

    Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, senang hati Sang Sena, mendengarkan nasihat itu, ketika hatinya sedang bersuka-cita, sedang yang berwarna merah hitam kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.

    Pan isine ing jagad mepeki, iya ati kang telung prakara, pamurunge laku kabeh, yen bisa pisah iku, pasthi bisa pamoring gaib, iku mungsuhe tapa, ati kang tetelu, ireng abang kuning samya, angadhangi cipta karsa kang lestari, pamoring Suksm Mulya.

    Artinya :

    Isi dunia ini sudah lengkap, yaitu hati tiga hal, pendorong segala langkah, bila dapat memisahkan tentu dapat menyatu dengan gaib, itu adalah musuh pendeta, hati yang tiga (curang), hitam merah kuning semua, menghalangi pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Sukma Mulia.

    Lamun nora kawileting katri, yekti sida pamoring kawula, lestari panunggalane, poma den awas emut, durgama kang munggeng ing ati, pangwasane weruha, wiji-wijinipun, kang ireng lueih prakosa, panggawene asrengen sabarang runtik, andadra ngambra-ambra.

    Artinya :

    Jika tidak tercampur oleh tiga hal itu, tentu akan terjadi persatuan kawula/rakyat, abadi dalam persatuan, perhatikan dan ingatlah, penghalang yang berada dalam hati, ketahuilah benih-benihnya, yang hitam lebih perkasa, kerjanya marah terhadap segala hal, murka secara menjadi-jadi.

    Iya iku ati kang ngadhangi, ambuntoni marang kabecikan, kang ireng iku gawene, dene kang abang iku, iya tuduh nepsu kang becik, sakehe pepinginan, metu saking ngriku, panas baran panastenan, ambuntoni marang ati ingkang eling, marang ing kawaspadan.

    Artinya :

    Itulah hati yang menghalangi, menutupi tindakan yang baik, yang hitam itu kerjanya, sedangkan yang merah, menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi kepada hati yang sadar, kepada kewaspadaan.

    Dene iya kang arupa kuning, panggawene nanggulang sabarang, cipta kang becik dadine, panggawe amrih tulus, ati kuning ingkang ngadhangi, mung panggawe pangrusak, binanjur linantur mung kang putih iku nyata, ati anteng kang suci tan ika iki, prawira ing kaharjan.

    Artinya :

    Sedangkang yang berwarna kuning, kerjanya menanggulangi segala hal, pikiran yang baik jadinya, pekerjaan agar lestari, hati kuning yang menutupi, hanya suka merusak, kemudian yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian.

    Amung iku kang bisa nampani, ing sasmita sajatining rupa, nampani nugraha nggone, ingkang bisa tumaduk, alestari pamoring kapti, iku mungsuhe tapa, ati kang tetelu balane tanpa wilangan, ingkang putih tanpa rowang amung siji, mulane gung kasoran.

    Artinya :

    Hanya itu yang dapat menerima, akan firasat hakikat warna, menerima anugrah tempatnya, yang dapat melaksanakan, mengabdikan persatuan keinginan, itu musuh pertapa, hati yang tiga (curang) kawannya sangat banyak, yang berwarna putih hanya seorang diri tanpa kawan, maka ia sering kalah.

    Iya lamun bisa nembadani, marang sesuker telung prakara, sida ing kono pamore, tanpa tuduh puniku, ing pamore Kawula Gusti, Wrekudara miyarsa, sengkut pamrihipun, sangsaya birahinira, iya marang kauwusaning ngaurip, sampurnaning panunggal.

    Artinya :

    Memang bila dapat memenuhi, kepada tiga hal yang merusak di situlah letak persatuannya, tanpa pedoman tentang persatuan makhluk dan pencipta, Wrekudara mendengar, dengan giat ia berusaha, dengan penuh tekad, untuk mencapai pedoman hidup, demi kesempurnaan persatuan.

    Sirna patang prakara na malih, urub siji wolu warnanira, Wrekudara lon ature, punapa wastanipun, urub siji wolu kang warni, pundi ingkang sanyata, pundi kang satuhu, wonten kadi retna muncar, wonten kadi maya-maya angebati, wonten abra markatha.

    Artinya :

    Setelah hilang empat hal itu ada lagi, nyala satu delapan warnanya, Wrekudara pelan bertanya, apakah namanya, nyala satu dengan delapan warna, mana yang nyata, mana yang sesungguhnya, ada yang seperti ratna bersinar, ada yang maya-maya bergerak cepat, ada manik-manik yang berkilat-kilat.

    Marbudyengrat angling Dewa Ruci, iya iku sanyatane tunggal, saliring warna tegese, wus ana ing sireku, kabeh iya isining bumi, ginambar aneng sira, lawan jagad agung, jagad cilik, tan prabeda, purwa ana lor kulon kidul puniku, wetan luhur ing ngandhap.

    Artinya :

    Marbudyengrat berkata sang Dewa Ruci, itulah sesungguhnya yang disebut tunggal, semua warna itu artinya sudah ada padamu, semua itu ialah isi dunia ini, digambarkan atas dirimu, dan dunia yang agung, jagad kecil tak berbeda, timur ada utara, barat dan selatan itu, timur luhur di bawah.

    Miwah ireng abang kuning putih, iya panguripe kang bawana, jagad cilik jagad gedhe, pan padha isinipun, tinimbangken ing sira iki, yen ilang warna ingkang, jagad kabeh suwung, saliring reka tan ana, kinumpulken aneng rupa kang sawiji, tan kakung tan wanodya.

    Artinya :

    Dan hitam merah kuning putih, ialah kehidupan di dunia, alam kecil dan alam besar, memang sama isinya, pertimbanglanlah plehmu, bila hilang warna yang, semua alam akan sepi, semua usaha tidak akan ada, dikumpulkan atas satu rupa saja, tidak lelaki tidak perempuan.

    Kadya tawon gumana puniki, kang asawang lir peputran dhenta, tah payo dulunen kuwe, Wrekudara andulu, ingkang kadya peputran gadhing, cahya muncar kumilat, tumeja ngenguwung, punapa inggih punika, warnaning Dzat kang pinrih dipun ulati, kang sajatining rupa.

    Artinya :

    Bagaikan lebah muda yang tampak bagaikan putih gading, marilah tengok, Wrekudara melihat, sesuatu yang bagaikan berputra putih gading, cahaya memencar berkilat, berpelangi melengkung, apakah gerangan itu, bentuk Dzat yang dicari, yang merupakan hakikat rupa.

    Anauri ris Dewa Ruci, iku dudu ingkang sira sedya, kang mumpuni ambek kabeh, tan kena sira dulu, tanpa rupa datanpa warni, tan gatra tan satmata, iya tanpa dunung, mung dumunung mring kang awas, mung sasmita aneng ing jagad ngebeki, dinumuk datan kena.

    Artinya :

    Menjawab pelan Dewa Ruci, itu bukan yang kau cari, yang menguasai segala hal, tak boleh kau lihat, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berujud dan tidak tampak, ya tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini memenuhi, dipegang tidak dapat.

    Dene iku kang sira tingali, kang asawang peputran mutyara, ingkang kumilat cahyane, angkara-kara murub, pan Pramana aranireki, uripe kang sarira, Pramana puniku, tunggal aneng ing sarira, naging nora milu suka lan prihatin, enggone aneng raga.

    Artinya :

    Sedang yang kau lihat itu, yang tampak seperti berputra mutiara yang berkilat cahayanya, memancar menyala-nyala, itulah yang bernama sang Pramana, kehidupan tubuhnya, sang Pramana menyatu dengan dirimu, tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuhmu.

    Datan milu mangan turu nenggih, iya milu lara lapa, yen pisah saking enggone, raga kari ngalumpruk, yekti lungkrah badanireki, ya iku kang kuwasa, nandhangrasanipun, inguripun dening Suksma, iya iku sinung sih anandhang urip, ingaken rahsaning Dzat.

    Artinya :

    Tidak makan dan minum, juga tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga tinggal tak berdaya, sungguh badan tanpa daya, itulah yang mampu, merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia Dzat.

    Iya sinandhangken ing sireki, nanging kadya simbar ing kakaywan, aneng ing reraga nggone, uriping Pramaneku, inguripun ing Suksma nenggih, misesa ing sabarang, Pramana puniku, yen mati melu kaleswan, lamun ilang Suksmane sarira nuli, Uriping Suksma ana.

    Artinya :

    Juga dikenakan kepadamu, tetapi bagaikan bulu pada hewan, berada di raga, kehidupan Pramana dihidupi oleh Suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang kemudian, kehidupan Suksma ada.

    Sirna iku iya kang pinanggih, Uriping Suksma Ingkang Sanyata, kaliwatan upamane, lir rasane kamumu, kang Pramana anresandani, tuhu tunggal piangka, jinaten puniku, umatur Sang Wrekudara, inggih pundi warnane ingkang sajati, Dewa Ruci ngandika.

    Artinya :

    Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, terlalu upamanya, bagaikan rasa kemumu (kepinding), Pramana anresandani, sebenarnaya satu asal, dibuktikan hal itu, berkata sang Wrekudara, iya benar bagaimana warna yang sejati, Dewa Ruci berkata.

    Nora kena iku yen sira prih, lawan kahanan samata-mata, gampang angel pirantine, Wrekudara umatur, kula nyuwun pamejang malih, inggih kedah uninga, babar pisanipun, pun patik ngaturaken pejah, ambebana anggen-anggen ingkang yekti, sampun tuwas kangelan.

    Artinya :

    Hal itu boleh kau ambil, dan keadaan semata-mata, mudah sulit sarannya, Wrekudara berkata, aku minta ajaran lagi, juga harus tahu, sama sekali, aku menyerahkan diri meminta dengan busana yang sebenarnya, janganlah tanpa hasil.

    Yen makaten kula boten mijil, inggih eca neng ngriki, kewala, boten wonten sangsayane, tan niyat mangan turu, bopten arip boten angelih, boten ngrasa kangelan, boten ngeres linu, amung enak lan manfaat, Dewa Ruci ngandika iku tan keni, yen nora lan antaka.

    Artinya :

    Jika demikian saya tidak mau keluar, lebih baik tinggal di sini saja, tidak ada hambatannya, tidak akan makan dan tidur, tidak mengantuk juga tidak lapar, tidak mengalami kesulitan, tidak sakit-sakit ngilu, hanyalah enak dan manfaat, Dewa Ruci berkata itu tidak boleh, jika belum mengalami mati.

    Sangsaya sihira Dewa Ruci, marang kaswasih ingkang panedha, lah iya den awas bae, mring pamurunging laku, aywana kekaremireki, den bener den waspada, ing anggepireku, yen wus kasikep ing sira, aywa umung den nganggo parah yen angling, yeku reh pepingitan.

    Artinya :

    Semakin banyak ajaran Dewa Ruci, kepada Sang Kaswasih, yang memintanya, wahai itu perhatikanlah, hal yang menggagalkan laku, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspadalah, dalam segala tingkah laku, jika semua sudah kau dapatkan, jangan gaduh dalam berbicara, itulah hal yang dirahasiakan.

    Nora kena yen sira rasani, lawan sama-samaning manusa, yen nora lan nugrahane, yen ana nedya padu, angrasani rerasan iki, ya teka kalahana, aja kongsi banjur, aywa ngadekken sarira aywa ngraket mring wisayaning ngaurip, balik sikepen uga.

    Artinya :

    Tidak boleh kau bicarakan secara sembunyi-sembunyi, dan sesama manusia, bila tidak dengan anugrahnya jika berselisih, membicarakan bahan pembicaraan ini, lekaslah kau mengalah saja, jangan sampai berlarut-larut, jangan memajakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tetapi kuasailah.

    Kawisayan kang marang ing pati, den kaasta pamanthenging cipta, rupa ingkang sabenere sinengker buweneku, rupa nora nan nguripi, datan antara masa, iya ananipun, panwus ana ing sarira, tuhu tunggal sasat ana ing sireki, wus dadi kekantenan.

    Artinya :

    Tentang keinginan untuk mati, peganglah dalam pemusatan pikiran, rupa yang sebenarnya, disimpan oleh buana, rupa tak ada yang menghidupi, tidak seberapa waktu, memang keberadaannya, sudah melekat pada diri, sungguh menyatu padu dengan dirimu, sudah menjadi kawan akrab.

    Kidung Kinanthi

    Tan kena pisahna iku, tan waneh praptanta nguni, tunggal Kartining Buwana, pandulu, pamiyarseki, iya wus ana ing sira, pamirsane Suksma Yekti.

    Artinya :

    Tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan duni, penglihatan dan pendengaran, juga sudah ada pada dirimu, pendengaran sukma sejati.

    Tanpa karna lan pandulu, netra karnanta kinardi, kahanane aneng sira, lair suksma neng sireki, batin sira aneng Suksma, mangkene patrapireki.

    Artinya :

    Tanpa telinga dan mata, mata dan telinga diciptakan, untuk dirimu lahirlah sukma pada dirimu, batinmu dalam sukma bagitulah kenyataannya.

    Pan kaya wreksa tinunu, ananing kukusing geni, sartane kalawan wreksa, lir toya alun jaladri, kadya menyak aneng puhan, raganira obah mosik.

    Artinya :

    Itu bagaikan kayu dibakar, asapnya muncul dari api beserta pohon itu, bagaikan air ombak lautan, bagaikan minyak dalam susu, tubuhmu bergerak leluasa.

    Sarta nugraha satuhu, yen wruh ing paworireki, woring Gusti lan Kawula, sarta panuwunireki, Suksma kang sinedya ana, dening ta warnanireki.

    Artinya :

    Serta mendapatkan anugerah yang benar, jika tahu penyatuan ini, persatuan khalik dan makhluk, serta permintaanmu, sukma yang diharapkan ada, sedangkan bentuknya itu.

    Wus aneng sira nggonipun, lir wayang sariraneki, barang saparipolahnya, saking dhadhalang kang kardi, kang minangka panggung jagad, kelir kang kinarya ngringgit.

    Artinya :

    Sudah ada pada dirmu, dirimu bagaikan wayang, segala gerak-gerik dari sang dalang yeng memainkan, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan wayang.

    Pamolahing wayang iku, saking dhalang kang akardi, tumindak sarta pangucap, dhalang wisesa akardi tan antara moring karsa, jer iku datanpa warni.

    Artinya :

    Gerakan wayang-wayang dari ki dalang yang memainkan, berlaku dan berucap, dalang berkuasa antara perpaduan kehendak, karena hal itu tidak berbentuk.

    Warna wus aneng sireku, upama paesan jati, ingkang angilo Hyang Suksma, wayanganira puniki, kang aneng jroning papaesan, jenenging kawula iki.

    Artinya :

    Warna dan bentuk sudah ada padamu, seumpama hiasan yang sejati, tempat bercermin Hyang Sukma, bayangannya itulah yang ada dalam hiasan, namanya makhluk ini.

    Neng jro kaca rupanipun, luwih geng klepasan iki, gedhene kalawan jagad, ageng kalepasan iki, poma salembuting toya, pan lembut kamuksan iki.

    Artinya :

    Di dalam kaca rupanya, lebih besar dari yang diceritakan ini, daripada besar jagad, besar yang diceritakan ini, seumpama selembut tetes air, masih lebih kecil dan halus kematian.

    Poma saciliking tengu, cilik ing kamusan ugi, lire luwih amisesa, iya mring sabarang kalir, lire ageng alitira, bisa nuksma ageng alit.

    Artinya :

    Seumpama sekecil kutu, lebih kecil kematian ini, sesungguhnya lebih menguasai, juga terhadap segala sesuatu, maksudnya besar kecilnya itu, dapat menjelma dalam kematian besar dan kecil pula.

    Kalimputan kabeh iku, kang rumangkang aneng bumi, tuwin kang gumremet samya, tan pae sadaya sami kaluwihan kang sanyata, pan luwih ingkang nampani.

    Artinya :

    Semua itu tidak tahu karena tertutup, yang merangkak di tanah, serta yang melata, tak berbeda semua memiliki kelebihan nyata, yang merasa lebih banyak menerima.

    Tan kena ngendelken iku, ing warah lan wuruk sami, den sanget panguswanira, wasuhen badanireki, weruha rungsiting tingkah, wuruk kang minangka wiji.

    Artinya :

    Tidak boleh menyombangkan diri, terhadap ajaran dan nasehat, hayatilah dengan sungguh-sungguh, basuhlah dirimu, ketahuilah segala rahasia tingkah, nasehat merupakan benih.

    Poma kang winuruk iku, sengga papan parang curi, kang amuruk upamnya, kacang kedhelenireki, sinebar aneng sesela, yen watune tanpa siti.

    Artinya :

    Seumpama yang diajari misalnya papan batu atau cadas, yang menasihati umpamanya, kacang kedelai disebar di bebatuan, jika batu tanpa tanah.

    Pasthi nora bisa thukul, yen wicaksana sireki, iya iku tinggalira, sirnakna ananireki, pan dadi tinggaling Suksma, rupa lan swaranireki.

    Artinya :

    Tentu tidak akan tumbuh, jika kau bijaksana, tinggalkan hal demikian itu, hilangkan adanya, agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara.

    Swara ulihena iku, rupa mring kang darbe nguni, jer sira iku yektinya, ingaken sesulih ugi, nanging aja duwe sira, pakareman tyasireki.

    Artinya :

    Suara itu kembalikan, rupa kepada yang punya, pada pokoknya kau ini sesungguhnya, hanya dijadikan pengganti, tetapi janganlah kau punya, kegemaran dalam hatimu.

    Liyane marang Hyang Luhur, dadi awak Suksma ening, tingkah obah osikira, iya iku dadi siji, ujer loro anggepira, yen dadi anggepireki.

    Artinya :

    Selain kepada Hyang Luhur, menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu, karena dua hal telah kau anggap, sudah menjadi diri sendiri.

    Yekti ngrasa loro iku, maksih was-was tyasireki, kena rengu sayektinya, yen wus wujud dadi siji, sakarenteke tyasira, ing saguh aja gumingsir.

    Artinya :

    Sesungguhnya akan merasakan dua hal itu, masih ragu dalam hati, akan menjadi lekas marah, jika sudah menyatu, setiap gerak, tentu juga merupakan kehendakmu.

    Tinaken ananireku, ing sasejanira, prapti, wus kawengku aneng sira, jagad kabeh jer sireki, kinarya gegentenira, ing saguh aja gumingsir.

    Artinya :

    Terkabul itu namanya, akan segala keinginan, semua sudah ada padamu, semua jagad ini karena dirimu, merupakan pengganti, dalam segala janji janganlah ingkar.

    Yen wus mudheng sira tuhu, kabeh ing pratingkah iki, den wingit miwah den sasab tegesireki, pan pamer panganggonira, nanging ing batinireki.

    Artinya :

    Jika sudah paham, akan segala tanggungjawab, rahasiakan dan tutupilah maknanya, jangan pamerkan pakaianmu, tetapi dalam batinmu.

    Sekedhap pan kudu emut, aywa kongsi kena lali, ing laire sasabana, kawruh kang patang prakawis, padha anggepen sadanya kalimane siji iki.

    Artinya :

    Sebentar pun harus kau ingat, jangan sampai kau terlupa, dalam kenyataan tutupilah, akan empat macam hal, anggaplah semuanya termasuk kelimanya ini.

    Ingkang pramati satuhu, kangge kene kana ugi, lir mati sajroning gesang, lir urip sajroning pati, urp bae salaminya, kang mati puniku ugi.

    Artinya :

    Yang terbaik, untuk di sini dan di sana juga, bagaikan mati di dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu juga.

    Ya iku kang marang nepsu, badanira iku darmi, ing lair anglakonana, katampan badanireki, paworing sawujud tunggal, pagene angrasa mati.

    Artinya :

    Ya itu yang menuju pada nafsu, badan sekedar melaksanakan secara lahir, diterima badan ini, perpaduan sewujud tunggal, mengapa merasa mati.

    Wrekudara duk angrungu, pangandikanya Sang Yogi, tyaira padhang narawang, suka denira nampani, cipta katiban nugraha, nugraha wahyu sayekti.

    Artinya :

    Wrekudara setelah mendengar perkataan sang guru, hatinya terang-benderang, menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugrah, anugerah wahyu sesungguhnya.

    Kadya sasngka puniku, katawengan dening riris, ciptaning wahyu nugraha, ima nirmala upami, sumilah rereged ilang angling malih Dewa Ruci.

    Artinya :

    Bagaikan rembulan terhalang oleh hujan, memikirkan wahyu nugraha, seumpama mendung suci, menyingkir kotoran kemudian hilang, berkata lagi Dewa Ruci.

    Sena surupa sireku, iya kang sira lakoni, nora ana aji paran, kabeh wus kawengku ugi, tan ana ingulatana, kadigdayan guna sekti.

    Artinya :

    Sena ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada aji paran, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan keperkasaan.

    Kabeh-kabeh wus kapungkur, kaprawirannya ngajurit, karana tuhu tyasira, iya nggonira nglakoni, Sena umatur sandika, kapundhi mustaka kalih.

    Artinya :

    Semua sudah berlalu, keberanian dalam berperang, karena kesungguhan hati ialah dalam cara melaksanakan, Sena berkata sanggup, akan dicamkan di dalam hati dan pikiran.

    ———- Wrekudara Sudah Jernih Pikirannya ———-

    Wau Dewa Ruci sampun, telas pamulangireki, Wrekudara wus tan kewran, denira sampun udani, namane ing badanira, solah lampahing ngajurit.

    Artinya :

    Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara sudah tidak bingung lagi, semua sudah dipahami, merasuk kedalam diri, dalam segala ulah tanding.

    Ardaning kang swara muluk, tanpa elar njajah bangkit, sawengkoning jagad traya, uga wus kawengku sami, pantes pamathining basa, lir upama sekar sari.

    Artinya :

    Sangat berlebihan suara membumbung, tanpa sayap dapat melanglang, segala penjuru jagad ini, sudah dikuasai juga, pantaslah susunan bahasanya, bagaikan sekumtum bunga.

    Kekudhupe maksih kuncup, mangkya mekar mbabar sami wuwuh warna lan gandanya, kang Pancaretna wus keni, medal saking guwagarba, wus salin alamireki.

    Artinya :

    Kuntumnya masih kuncup, sekarang mekar mengembang semakin indah dan berbau harum, sang Pancaretna sudah diperbolehkan keluar keluar dari tubuh, sudah berganti alamnya.

    ———- Sudah Keluar Dari Tubuh Dewa Ruci ———-

    Angulihi alamipun alam kamanungsanneki, Sang Dewa Ruci wus sirna, dinulu datan kaeksi, ngungun Raden Wrekudara, wasana suka ing galih.

    Artinya :

    Kembali ke alam kemanusiaan, Sang Dewa Ruci sudah sirna, dilihat tidak tampak, heran Raden Wrekudara, akhirnya gembira hatinya.

    Cipta nugraha satuhu, lulus saking ing gandaning, jatining kasturi mekar, wus sirna papa ning galih, leksana salekering rat, pamulang kang angenomi.

    Artinya :

    Mengharap anugrah sejati, berhasil mendapatkan baunya, bunga kasturi yang mekar, hilanglah kekalutan hatinya, laksana selingkar dunia, ajaran kepada yang lebih muda.

    Kidung Sinom

    Ujar wruh patakanira, sirna nirmalaning galih, pan mung narima satitah, lir kadya angganireki, anggane busana di, sutra maya-maya alus, sinuksma ingemasan, sinesotnya manik, manik, Wrekudara weruh pakenaking tingkah.

    Artinya :

    Kata dengan mara bahayanya, hilanglah kesucian hati, bukankah hanya sekedar melaksanakan, seperti dirimu itu, tubuh dengan busana indah, sutra maya halus, diperhalus dengan emas, perhiasan manik-manik, Wrekudara tuhu hikmah tingkah demikian.

    Mila sumping puspa kresna, winarnendah kang sarwa di, kintaki sekar sumekar, nama kasturi sajati, sekar kasturi jati pratandhanira, tan korup ing pangawikan: kenaka, kalih pancanaka lungid, angungkabi kabisan tan kaliruwa.

    Artinya :

    Maka menyunting bunga berwarna hitam, berwarna indah serba menawan, tersurat bunga mekar, bernama kasturi sejati, bunga kasturi sejati sebagai tanda, tak sesuai dengan kemampuan kuku, dengan ujung kuku yang tajam, mengungkap kemampuan tidak keliru.

    Poleng bang bintulu lima, winarneng uraganeki, lancingan lan kampuhira, mangkana pangemutanneki, titika duking nguni, neng jro guwagrbanipun, Sang Dewa Ruci dennya mangerti ireng bang kuning pamurunge laku ngandhangi tyas arja.

    Artinya :

    Kain merah tampak catur merah, dihiaskan kepala, celana dan kain dodot, padahal sudah di ingat, perhatikan masa lalu, ketika masih di dalam tubuh Sang Dewa Ruci, dinasihati tentang warna hitam, merah, kuning, merupakan penghalang tugas dan merintangi hati yang berniat baik.

    Kang warna putih ing tengah, sidaning pangangkuhneki, kalima ingkang ginambar, wus kaasta sadayeki sanalika tan lali, saking ambek satya tuhu, marma Sang Wrekudara karya ampung aling-aling, pambengkasing sumungah jub riyanira.

    Artinya :

    Yang berwarna putih di tengah, jadi sumber keangkuhan, kelima yang digambarkan, sudah dibaw semuanya seketika, tak akan terlupakan, oleh karena seorang satria yang baik, maka Sang Wrekudara, membuat tirai untuk bersembunyi, untuk membasmi kesombongan pada dirinya.

    ———- Tujuan Mati Yang Salah ———-

    Kaesthi ing dalu siyang, kathah denira miyarsi, para wiku pratingkahnya, kang luput anggepireki, kawruh pangijabneki, wus bener panarkanipun, wasana tanpa dadya, kawilet tatrapanneki, ana ingkang mati dadya manuk engkuk.

    Artinya :

    Dipikirkan siang dan malam, banyak yang didengarnya, tentang tingkah para pertapa yang berpikiran salah, akan ilmu ijab, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya, dililit oleh penerapannya, ada yang mati menjelma burung engkuk.

    Mung malih kang pepencokan, kayu kang warnanira di, nagasari lan angsana, tanjung lan wreksa waringin, kang tuwuh aneng pinggiring pasar kang manuk engkuk, angungkuli wong pasar, pindha kamukten kang pinrih, pan kasasar iku anasar mbelasar.

    Artinya :

    Hanya memilih tempat hinggap, kayu yang berwarna baik, kayu nagasari dan anhsana, tanjung dan pohon beringin yang tumbuh di tepi pasar sang burung engkuk, melebihi orang-orang pasar, seperti mengharap kemuliaan, yang akhirnya tersesat dan terjerumus.

    Ana nitis para raja, asugih rajabrana di, lawan sugih wanodya endah, tuwin sugih putra putri, ingkang arsa mengkoni, siji-siji karemipun, samyantuk kaluwihan, ing panitisira nenggih, yen mungguha Dyan Wrekudara tan arsa.

    Artinya :

    Anak yang menitis (reinkarsani) menjadi raja, yang kaya harta benda, dan memiliki banyak wanita cantik, serta mempunyai banyak putra-putri yang akan menguasai, setiap kesukaannya, semua mendapatkan kelebihan, dalam proses penitisan, bagi sang Wrekudara tidak akan.

    Pan ana amung murih pribadya, iya sariraneki, sadaya iku ingaran, tibane tan pana yekti, pan durung nama jalmi, ingkang utama satuhu, kang mengkono anggepnya, pangrasanira ing nguni, nemu suka suka sugih singgih badanira.

    Artinya :

    Yang ada hanya pribadi, terhadap diri sendiri, semuanya dikatakan, jatuhnya tidak tepat benar, belum dapat disebut makhluk, yang sangat utama, demikianlah pengakuannya, yang dirasakan dahulu, menemukan suka kaya lagi berpangkat tinggi dirinya itu.

    Tan wruh yen nemu deduka, kabanjur mangkono ugi, manitis ing sato kewan, tanpa wekas dennya nitis, tangeh tan manggih asil, tan mbabar pisani iku, luput kacakrabawa, saking karemireng nguni, pati panitisan koneng tibanira.

    Artinya :

    Tidak tahu jika mendapat marah (dimarahi), terlanjur demikian, ia menitis pada hewan-hewan, tanpa bekas titisannya, tak mungkin akan berhasil, tidak sama sekali, salah dalam perkiraan, oleh kegemarannya di masa lalu, mati menitis jatuhnya.

    Tan kuwat parenging pejah, keron kasamaran ugi, mangsah wowor sambu samya, pan saking abotireki, ulah kamuksan titis wus datan nolih ing pungkur, bapa biyang lan suta, jroningmrih wekasan nenggih, yen luputa patakaning bumi pala.

    Artinya :

    Tidak kuat menuju matinya, bingung dan tertutup juga melawan secara menyamar bersatu dengan orang banyak, oleh terlalu beratnya, gerakan menuju matinya dan menitis tidak akan menoleh kebelakang, ayah, ibu dan anak, dalam mencapai akhir, jika salah menjadi petaka dunia.

    Leheng aywa dadi jalma, sato gampang tingkahneki, tanpa tutur sirnanira, yen aris benering kapti, langgeng puniku ugi, tanpa karena satuhu, pama angga buwana, tan lir sela menengneki, eningira iya nora kadi tirta.

    Artinya :

    Lebih baik jangan jadi manusia, hewan lebih mudah bertingkah, tanpa kata-kata sirna, bila secara pelan akan menuju kebenaran tyjuan, abad itu juga, tanpa sarana sebenarnya, seumpama diri adalah dunia, tak sperti batu diam, jernihnya pun tidak seperti air.

    Warata tanpa tuduhan, liyaning pandhita nganggepi, ing kamuksan peksanira, njangkung kasutapaneki, nyana ingangkuh keni, mung lan tapa tanpa tuduh, tanpa wit puruhita, suwunging ciptanireki, durung antuk pratikel wuruk kang nyata.

    Artinya :

    Merata tanpa petunjuk, selain pendeta menganggap, dlam kematian yang dipaksakan, mendukung kepertapaannya, mengira akan dapat dicapai, dengan cara bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru, kekosongan pikiran, belum mendapatkan petunjuk yang nyata.

    Pratingkah angayawara, tapaning raga runting, denira amrih kamuksan, tanpa tutur sirnaneki, wuk tapanira ugi, dene kang lestari iku, tapa iku minangka, ragining sariraneki, ilmu iku iya kang minangka ulam.

    Artinya :

    Tingkahnya seenaknya sendiri, bertapa dengan merusak tubuh, dalam mencapai kamuksan, tanpa kata ia hilang, gagallah bertapanya itu, sedangkan yang dikatakan lestari, bertapa digunakan sebagai, ragi bagi tubuhnya, ilmu itu merupakan lauknya.

    Yen tanpa ilmu tapanya, iya nora bisa dadi, lamun ilmu tanpa tapa, cemplang nora wurung dadi, asal puniku ugi, tan kawilet tatrapipun, kacagak bekanira, dadya keh pandhita sandi sinatengah wuruke mring cantrikira.

    Artinya :

    Jika bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, jika ilmu tanpa dijalankan, hambar tidak mungkin jadi, asal semua itu juga, tidak dililit oleh penerapannya, ditopang kesulitan, jadi banyak pendeta, setengah-tengah dalam memberikan ajaran kepada muridnya.

    Cantrikira landhep prinyangga, wedharira kang linempit, raose punika mulya, ngaturaken guruneki, pemedharira nenggih, mung saking graitanipun, nguni-uni punika, durung mambu warah yekti saking denetan eca ing manahira.

    Artinya :

    Muridanya pandai dengan sendirinya, ajaran yang disimpan dirasakan mulia, memberi tahu gurunya, ajarannya itu hannya dari pikiran, di masa lalu itu juga, belum pernah mendapatkan ajaran yang benar, jadi tidak enak dalam hatinya.

    Dadya katur gurunira, gurune ngungun miyarsi, ngugemi ing aturira, sinemantakaken maring, wiku kang luwih-luwih pasthi anggepnya satuhu, iku wahyu nugraha, tiba ing angga pribadi, cantrikira pan lajeng ingaku anak.

    Artinya :

    Kemudian disampaikan kepada gurunya, gurunya heran mendengar hal itu, memegang teguh kata-katanya yang diperoleh dari, wiku yang punya kelebihan, tentu dianggap suatu kebenaran, itu wahyu anugrah, jatuh kepada dirimu, cantrik itu kemudian di akui sebagai anak.

    Tinari sinungga-sungga, marang ing guruneki, guru yen arsa amejang, ………. tan tebih sinandhing linggih, cantrik sabatireki, satemahan dadya guru, gurune dadya sabat, lepas panggraiteng batin, nandukaken sarta kang wahyu nugraha.

    Artinya :

    Ditanya mau atau tidak untuk diangkat oleh gurunya, jika gurunya akan memberi ajaran tidak jauh tempat duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, kemudian menjadi guru, sedangkan gurunya itu menjadi sahabatnya, kemudian menjadi guru, sedangkan gurunya itu menjadi sahabat, lepas dari pemikiran batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh.

    Yeku utama kalihnya, kang satengah pandhiteki, durung sekti tapanira, kaselak tyasira nuli, ngaku wiku linuwih saujare kudu tinut, lumaku sinembaha nggenira neng puncak wukir swaranira nguwuh ngebeki pratapan.

    Artinya :

    Itu keutamaan bagi keduanya, pendeta yang setengah-setengah, belum sakti dalam bertapa, terburu hatinya lalu, mengaku sebagai pendeta sakti setiap katanya harus dianut, berjalan-jalan disembah, tinggal di puncak gunung, bersuara keras memenuhi pertapaan.

    —————- Pralambang Ilmu Sejati —————-

    Lamun ana wong marak, ndharidhit wekasireki, lir gubar bendhe tinatab, kumarampyang tanpa isi, tuna denira sami, ngeguru pandhita bingung, iku aja mangkana, tingkahing ngurip puniku, badan iki bisa kadi wayang.

    Artinya :

    Bila ada orang yang menghadap kepadanya, panjang lebar pesan yang diberikannya, bagaikan gong yang dipukul, banyak yang dikatakan tetapi tanpa isi, semua menjadi rugi, berguru kepada pendeta bingung, janganlah kau begitu, tingkah manusia hidup, usahakan dapat seperti wayang.

    Kinudang neng pepanggungan, neng kelir denira ngringgit, arja tali banyunira, padhanging panggungireki, damar surya lan sasi, kelirira alam suwung, ingkang ananggap cipta, bumi gadebogireki, adegira wayang sinangga kang nanggap.

    Artinya :

    Dimainkan di atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang dipasang, yang merupakan lampu panggungnya, adalah matahari dan rembulan, dengan layarnya berupa alam yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat berpijak, wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan.

    Neng dalemira kang nanggap, pangulah karsa tan mosik, pramana dhadhalangira, marang adeging kang ringgit, ana ugi dul lor tuwin, ngulon mangetan puniku, iku ta pamanira, mangkana kang sarireki, solah kendel sinolahaken ki dhalang.

    Artinya :

    Ketika dirumah orang yang menonton, pengolah kehendak mengolah karsa yang tidak tergerakkan, kecerdikan kidalang, atas gerak-gerik sang wayang, ada juga selatan utara, barat serta timur, itulah umpanya, demikianlah tubuhnya, gerak dan diamnya dimainkan oleh ki dalang.

    Ingucapken yen kumecap, tinutur sakarsaneki, kang nonton ing solahira, yen saking dhalang kang kardi, kang aneng ngandhap kelir, mangkana jagad tan ana wruh, kang nanggap tan katingal, aneng jro wismaneki, tanpa warna Hyang Suksma tan katingalan.

    Artinya :

    Disuarakan bila harus berkata-kata, dikatakan segala kehendaknya, yang melihat ulahnya, bahwa itu dari ki dalang, yang berada dibalik layar, padahal jagad tidak ada yang tahu, yang menonton tidak terlihat, di dalam rumahnya, tanpa bentuk Hyang Sukma tidak tampak.

    Sang Pramana dennya mayang, ngucapken lampahing ringgit, tan awas sasananira, wimbuh pan nora tut wuri, ing sariraneki, menyak munggeng puhan iku, lir geni munggeng wreksa, tan katedah andherpati, kang Pramana kadya gesenging kang wreksa.

    Artinya :

    Sang cerdik dalam menjalankan wyang-wayangnya, menyampaikanlaku-laku wayang, tidak jelas tempatnya, dan lagi tidak mengikuti di belakang, dalam dirinya, minyak yang bercampur dalam susu, bagaikan api dalam kayu, tidak ditunjukkan untuk tidak takut mati, sang cerdik bagaikan kayu yang sudah hangus.

    Lelandhesan sami wreksa, panggrit molah dening angin, kayu geseng kukus medal, tan antara kukus agni, saking kayu wijiling, wruha eling mulanipun, kabeh ingkang gumelar, saking heb manusa jati, kang tinitah luwih pan ingaken rahsa.

    Artinya :

    Bertumpukan sesama kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan asap, sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasaldari kayu, ketahuilah asal mulanya, semua yang tergelar, oleh perlindungan manusia jati, yang ditakdirkan lebih diakui sebagai rahasia.

    Kinarya mulya pribadya, sasamanireng dumadi, aja mengeng ciptanira, tunggal saparibawaneki, kabeh isining bumi, anggep siji manuseku, mengku sagung kahanan, den wrh wisesaning tunggil, anuksmani saliring jagad dumadya.